Selamat Datang Wakil Rakyat Yang Terhormat
Oleh: Sukardi Mitho
Setelah melalui proses pemilihan anggota legislatif yang cukup menguras energi, kini para calon anggota DPRD Kota/Kab Probolinggo terpilih baru saja ditetapkan oleh KPUD daerah masing-masing.
Lalu apa harapan kita? Harapan dari rakyat yang telah mengantarkannya menjadi wakil rakyat. Harapan dari rakyat pemilih yang bahkan mungkin tidak tahu apa sebenarnya tugas seorang anggota dewan itu. Tentu kita semua tidak berharap ada dari wakil rakyat kita nanti saat disodorkan laporan permasalahan rakyat lalu berkata, “ Maaf, itu diluar kompetensi legislatif (dewan)”. Atau “Baiklah, nanti saya sampaikan kepada pemerintah / eksekutif agar ditindaklanjuti” dan lain sejenisnya.
Kalau anggota dewan nantinya hanya bisa menanggapi berbagai laporan permasalahan rakyat dengan cara seperti itu maka pemilu kemarin bisa dikatakan gagal memilih wakil yang responsif atau tanggap terhadap permasalahan rakyat.
Eksistensi Dewan (wakil rakyat) bukanlah pelengkap peran dari pemerintah (eksekutif). Dengan kata lain fungsi dewan bukan berbagi fungsi dengan eksekutif. Karena hal tersebut dilakukan maka dewan adalah bagian dari eksekutif. Dan ini salah kaprah!
Dalam kaidah demokrasi, dewan berfungsi sebagai kontrol pemerintah. Fungsi kontrol diperlukan bukan dalam koridor persepsi bahwa pemerintah adalah musuh dewan (legislatif) tetapi lebih pada antisipasi kecenderungan penyalah gunaan kekuasaan. Dan ini adalah sifat yang sangat manusia.
Dalam konteks sistem demokrasi yang baik, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan harus dilakukan. Mengingat pelaksana dari kekuasaan tersebut adalah lembaga eksekutif maka disinilah perlunya dibentuk lembaga legislatif yang berfungsi sebagai kontrol kekuasaan tersebut diatas. DPR (legislatif) dibentuk sebagai wakil rakyat karena rakyatlah yang sesungguhnya sebagai pengawas dalam prtaktek negara demokrasi.
Dalam konsepsi demokrasi, negara adalah milik rakyat. Rakyat jualah yang “mengangkat” sekelompok orang yang menjadi “pemerintah/eksekutif” dan memberikan kepercayaan kepada mereka sebagai pelaksana administrasi pemerintahan.
Tugas utama dari sekelompok orang bernama “pemerintah / eksekutif” diatas adalah menjamin rasa aman, meningkatkan kesejahteraan dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Negara memiliki sumberdaya yang besar untuk mewujudkan kemakmuran rakyatnya. Pemerintah diberikan amanah dan kepercayaan oleh rakyat untuk mengolah, mengatur dan mendistribusikan sumberdaya tersebut kepada rakyatnya.
Dus, pemerintah / eksekutif adalah pelayan rakyat bukan sebaliknya. Bukan rakyat yang harus memberikan pelayanan kepada pemerintah. Bukan rakyat yang harus meneyediakan fasilitas publik dan kebutuhan kepada pemerintah. Sebab, pemilik negara adalah rakyat, bukan pemerinyah. Pemerintah sekedar pemegang amanah rakyat dan oleh karenanya disebut executif (pelaksana). Dapat di analogikan dalam perusahaan, pemerintah ibarat direktur atau manager dan rakyat adalah pemegang sahamnya.
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sehari-hari maka wajar kalau eksekutif diawasi oleh rakyat (pemegang saham) melalui dewan komisaris yakni DPRD (legislatif). Dalam konteks demokrasi Pancasila, pengawasan yang dilakukan oleh pihak legislatif bukan bermakna pengawasan seperti halnya pihak oposisi yang mengwasi pemerintah sebagai lawan politiknya. Pengawasan dilakukan secara kekeluargaan (penuh dengan nilai-nilai ke Indonesiaan) dengan tujuan secara bersama mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Jadi sekali lagi bahwa pengawasan dilakukan bukan sebagai bentuk kecurigaan dan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah.
Dalam banyak kasus terjadi bahwa dibelahan dunia manapun, kekuasaan selalu menggoda orang menyalahgunakannya. Penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya terjadi dalam sistem liberal, tetapi bisa terjadi dalam sistem apapun termasuk dalam sistem demokrasi Pancasila. Yang membedakan pengawasan dalam sistem demokrasi Pancasila dengan bentuk demokrasi lainnya adalah soal etika dan sopan santun. Kita harus sepakat untuk menggunakan budaya kita sendiri dalam melakukan pengawasan kepada pemerintah baik kota maupun kabupaten Probolinggo. Tidak perlu dengan caci maki, gebrak-gebrak meja apalagi dengan lempar-lemparan kursi serta dengan membuat meme yang bersifat melecehkan.
Pengawasan cukup dilakukan dengan cara yang sopan yakni melalui bahasa yang lugas dan berterus terang. Dan keterus terangan serta kelugasan itu sudah cukup memberikan pemahaman bagi pemerintah untuk melakukan koreksi atas kinerjanya.
Akhirnya, saya sampaikan selamat atas ditetapkannya saudara-saudara semua sebagai wakil rakyat (DPRD) baik di kota maupun di kabupaten Probolinggo. Ditetapkannya saudara adalah melalui proses demokrasi yang panjang dan rakyat telah menjatuihkan pilihannya kepada saudara sebagai wakilnya. Semoga amanah dan dapat mengoptimalkan perannya sebagai alat kontrol bagi jalannya pemerintahan baik di kota maupun kabupaten Probolinggo. Dan mengutip bahasa kaum millenial: “ayo ngopi ben gak salah paham”(Den).
Lalu apa harapan kita? Harapan dari rakyat yang telah mengantarkannya menjadi wakil rakyat. Harapan dari rakyat pemilih yang bahkan mungkin tidak tahu apa sebenarnya tugas seorang anggota dewan itu. Tentu kita semua tidak berharap ada dari wakil rakyat kita nanti saat disodorkan laporan permasalahan rakyat lalu berkata, “ Maaf, itu diluar kompetensi legislatif (dewan)”. Atau “Baiklah, nanti saya sampaikan kepada pemerintah / eksekutif agar ditindaklanjuti” dan lain sejenisnya.
Kalau anggota dewan nantinya hanya bisa menanggapi berbagai laporan permasalahan rakyat dengan cara seperti itu maka pemilu kemarin bisa dikatakan gagal memilih wakil yang responsif atau tanggap terhadap permasalahan rakyat.
Eksistensi Dewan (wakil rakyat) bukanlah pelengkap peran dari pemerintah (eksekutif). Dengan kata lain fungsi dewan bukan berbagi fungsi dengan eksekutif. Karena hal tersebut dilakukan maka dewan adalah bagian dari eksekutif. Dan ini salah kaprah!
Dalam kaidah demokrasi, dewan berfungsi sebagai kontrol pemerintah. Fungsi kontrol diperlukan bukan dalam koridor persepsi bahwa pemerintah adalah musuh dewan (legislatif) tetapi lebih pada antisipasi kecenderungan penyalah gunaan kekuasaan. Dan ini adalah sifat yang sangat manusia.
Dalam konteks sistem demokrasi yang baik, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan harus dilakukan. Mengingat pelaksana dari kekuasaan tersebut adalah lembaga eksekutif maka disinilah perlunya dibentuk lembaga legislatif yang berfungsi sebagai kontrol kekuasaan tersebut diatas. DPR (legislatif) dibentuk sebagai wakil rakyat karena rakyatlah yang sesungguhnya sebagai pengawas dalam prtaktek negara demokrasi.
Dalam konsepsi demokrasi, negara adalah milik rakyat. Rakyat jualah yang “mengangkat” sekelompok orang yang menjadi “pemerintah/eksekutif” dan memberikan kepercayaan kepada mereka sebagai pelaksana administrasi pemerintahan.
Tugas utama dari sekelompok orang bernama “pemerintah / eksekutif” diatas adalah menjamin rasa aman, meningkatkan kesejahteraan dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Negara memiliki sumberdaya yang besar untuk mewujudkan kemakmuran rakyatnya. Pemerintah diberikan amanah dan kepercayaan oleh rakyat untuk mengolah, mengatur dan mendistribusikan sumberdaya tersebut kepada rakyatnya.
Dus, pemerintah / eksekutif adalah pelayan rakyat bukan sebaliknya. Bukan rakyat yang harus memberikan pelayanan kepada pemerintah. Bukan rakyat yang harus meneyediakan fasilitas publik dan kebutuhan kepada pemerintah. Sebab, pemilik negara adalah rakyat, bukan pemerinyah. Pemerintah sekedar pemegang amanah rakyat dan oleh karenanya disebut executif (pelaksana). Dapat di analogikan dalam perusahaan, pemerintah ibarat direktur atau manager dan rakyat adalah pemegang sahamnya.
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sehari-hari maka wajar kalau eksekutif diawasi oleh rakyat (pemegang saham) melalui dewan komisaris yakni DPRD (legislatif). Dalam konteks demokrasi Pancasila, pengawasan yang dilakukan oleh pihak legislatif bukan bermakna pengawasan seperti halnya pihak oposisi yang mengwasi pemerintah sebagai lawan politiknya. Pengawasan dilakukan secara kekeluargaan (penuh dengan nilai-nilai ke Indonesiaan) dengan tujuan secara bersama mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Jadi sekali lagi bahwa pengawasan dilakukan bukan sebagai bentuk kecurigaan dan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah.
Dalam banyak kasus terjadi bahwa dibelahan dunia manapun, kekuasaan selalu menggoda orang menyalahgunakannya. Penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya terjadi dalam sistem liberal, tetapi bisa terjadi dalam sistem apapun termasuk dalam sistem demokrasi Pancasila. Yang membedakan pengawasan dalam sistem demokrasi Pancasila dengan bentuk demokrasi lainnya adalah soal etika dan sopan santun. Kita harus sepakat untuk menggunakan budaya kita sendiri dalam melakukan pengawasan kepada pemerintah baik kota maupun kabupaten Probolinggo. Tidak perlu dengan caci maki, gebrak-gebrak meja apalagi dengan lempar-lemparan kursi serta dengan membuat meme yang bersifat melecehkan.
Pengawasan cukup dilakukan dengan cara yang sopan yakni melalui bahasa yang lugas dan berterus terang. Dan keterus terangan serta kelugasan itu sudah cukup memberikan pemahaman bagi pemerintah untuk melakukan koreksi atas kinerjanya.
Akhirnya, saya sampaikan selamat atas ditetapkannya saudara-saudara semua sebagai wakil rakyat (DPRD) baik di kota maupun di kabupaten Probolinggo. Ditetapkannya saudara adalah melalui proses demokrasi yang panjang dan rakyat telah menjatuihkan pilihannya kepada saudara sebagai wakilnya. Semoga amanah dan dapat mengoptimalkan perannya sebagai alat kontrol bagi jalannya pemerintahan baik di kota maupun kabupaten Probolinggo. Dan mengutip bahasa kaum millenial: “ayo ngopi ben gak salah paham”(Den).
Mantap pak kardi
BalasHapusMantap
BalasHapus