Kamis, 22 Agustus 2019

ANGGOTA DPRD HARUS BERANI CEGAH ABSOLUTISME KEKUASAAN

ANGGOTA DPRD HARUS BERANI CEGAH ABSOLUTISME KEKUASAAN
Oleh: Sukardi Mitho



Siapa mengira bahwa Jerman yang terkenal sebagai salah satu bangsa yang pandai, beradab, berbudaya tinggi, negeri teladan yang bersih, necis, teratur dan termasyur sebagai one on of themost civilized country of the world, pada jaman Nazi tega melakukan kekejaman luar biasa biadab berupa pembantaian terhadap 6 juta orang Ibrani. Menukil pendapat Zygmunt Baumann dalam Modernity and the Holocaust, Mangunwijaya dalam saya ingin membayar utang kepada rakyat mengatakan bahwa para algojo Nazi itu bukanlah orang-orang berjenis criminal melainkan manusia-manusia berbudi pekerti normal, penyayang setia istri dan ayah yang baik. 

Kekejaman yang serba mengerikan itu dlakukan bukan karena ada psikopat Hitler, atau karena ada bandit-bandit yang kebetulan memegang kuasa , melainkan karena system rasionalitas. Negara dan masyarakat modern yang berdogma dan percaya pada rekayasa masyarakat dan Negara yang sisitemik serba dirancang, di program bahkan dimanipulasi dicetak paksa secara sentral sehingga seragam, satu komando, satu arah, satu ideologi dan satu sentrum.

Siapa pula yang mengira bahwa Indonesia yang disanjung (atau menyanjung diri) sebagai bangsa yang mewarisi budaya adiluhung, menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran yang digambarkan sebagai kehalusan budi, keramahan sikap, sopan-santun, toleransi, tepa-selira, botong-royong, dan bernafaskan regiolitas, toh tetap juga memeiliki rekam jejak kelam yakni tega melakukan kekejaman yang sama sehingga penembakan terhadap para aktivis yang memperjuangkan suara berbeda dengan kekuasaan merupakan tindakan yang legal demi bangsa dan Negara.

Sehingga penculikan, penganiayaan dan penghilangan nyawa orang yang menuntut keadilan merupakan pilihan strategis demi nama baik kekuasaan, sehingga pembunuh-pembunuh para Marsinah dan Udin tetap tak terhukum dan bebas berkeliaran, sehingga pembakaran dan perkosaan masal berbau SARA menjadi laupan magma yg tak terbendung dan yang paling tak masuk akal, tidak rasional serta berkebalikan dengan nilai-nilai moral-kemanusiaan adalah merebaknya tindakan salaing membunuh antar manusia yang berbeda teknis dan agama yang (katanya) suci. Semua ini penyebabnya tidak berbeda dengan penyebab pembantaian orang ibrani, yakni system negara dan masyarakat yang percaya kepada serba manipulasi cetak-paksa secara sentral, penyeragaman, penyatuan comando, penyatuan arah, penyatuan ideology dan penyatuan sentrum.

 Semua yang berjenis sentralisme di mana benar-salah, baik-buruk, pantas-tak pantas, keutamaan-kejahatan, boleh-tidak boleh, dan adil-tidak adil serba ditentukan oleh satu kekuasaan yang berada di pusat sentrum, selalu dan dimana-mana akan disebut sebagai absolutism. Yang mengerikan dan selalu saja mengancam kehidupan adalah bahwa absolutism itu memiliki anak tunggal yang disebut kekerasan. Oleh karenanya, apapun dan siapapun yang melakukan melakukan perkawinan dengan absolutism akan melahirkan kekerasan dalam bentuk apapun.

 Mengapa begitu? Karena absolutism tidak pernah mengakui adanya ruang bagi yang berbeda. Akhirnya, kehidupan bersama yang senyatanya tidak satu melainkan plural, banyak, dan berbeda-beda akan terancam apabila telah terjadi poligami antara absolutism, politik dan agama, karena dalam perjumbuhan ketiga hal inilah kekerasan dalam segala bentuknya akan mendapatkan pengesahan sebagai sebuah kesucian yang dipuja.

Lalu, apabila ditarik dalam konteks kekuasaan di daerah maka anggota dewan (DPRD) memiliki peran sentral untuk tidak menjadikan kekuasaan tersentral pada pusat kekuasaan yakni kepala daerah. Dewan harus mampu mendorong bahkan menginisiasi terciptanya ruang – ruang publik yang dapat digunakan untuk ruang diskusi / dialog bagi rakyat. Melalui ruang – ruang dialog tersebut akan menumbuhkan proses demokrasi sehingga menjauhkan politik sentralistik. Manakala itu dilakukan maka kehidupan berpolitik di kota / kabupaten Probolinggo dapat berjalan dengan demokratis dan berdampak pada kegiatan pembangunan yang didukung oleh banyak kekuatan rakyat. (Den)

Semoga!

Selasa, 20 Agustus 2019

GMNI Probolinggo Kecam Aksi 'Diksriminasi' Terhadap Warga Papua

GMNI Probolinggo Kecam Aksi 'Diksriminasi' Terhadap Warga Papua





DPC GMNI PROBOLINGGO- Belakangan ini media digencarkan dengan adanya tindakan rasis yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada hari Sabtu (17/8) lalu.


Insiden tersebut menuai banyak kecaman dari sejumlah elemen organisasi kepemudaan termasuk Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Probolinggo. GMNI yang notabene organisasi berbasis nasionalis , sangat mengecam dan menyayangkan adanya tindakan diskriminasi terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua tersebut.


Atas nama GmnI Probolinggo, salah satu kader Riska Dayana mengaku sangat kecewa atas insiden tersebut. " Sangat disayangkan sekali apabila ada Warga Negara Indonesia yang melakukan tindakan diskriminasi terhadap saudaranya sendiri. Papua merupakan wilayah NKRI, sudah seharusnya kita harus saling menjunjung tinggi toleransi."ucapnya.


Pihaknya atas nama DPC GMNI Probolinggo, menghimbau kepada seluruh masyarakat terutama di wilayah Probolinggo untuk menjaga keutuhan NKRI dengan saling menghargai satu sama lain serta menjunjung tinggi nilai  persatuan dan kemanusiaan.


Selain itu Riska juga menambahkan agar masyarakat harus bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan sampai mudah terprovokasi oleh akun-akun yang menyebarkan video atau tulisan hoax.


" Masyarakat harus bijak dalam menggunakan media sosial. Karena di jaman yang serba modern ini, kita sangat sulit untuk memilah mana yang berita bohong dan mana yang fakta sehingga masyarakat yang awam terhadap media sosial dapat dengan mudahnya terprovokasi,"ujarnya yang juga Ketua Bidang Sarinah ini.

Pihaknya menghimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan berita yang belum terbukti kebenarannya, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat merusak NKRI.


GMNI Probolinggo berharap insiden yang terjadi di Surabaya maupun Malang tidak terulang kembali demi menjaga keutuhan NKRI. Pada pihak-pihak terkait baik Pemerintah Daerah setempat  dan TNI/Polri untuk menjamin keamanan dan kenyamanan waega Papua di baik kota maupun kabupaten Probolinggo. (Ris/Den)

Senin, 12 Agustus 2019

"Nelangsa Sengsara"

"Nelangsa Sengsara"
Oleh : Teras Lantai Dua


Terkesampingkan kesetaraan--kesejahteraan
yang ada hanyalah kebinasaan
desah keresahan berserakan
tertampak jelas indah penderitaan

Sekolah dimahalkan
kebodohan bukan lagi kejutan
pengangguran--kemiskinan adalah kenyataan
kejahatan terjadi, tidak pantas dipertanyakan

Sedu sedan pertanian
penghapusan lahan demi pembangunan
iming-iming kemakmuran
yang ada hanya kehancuran--mata pencarian

Liar penebangan pohon pada hutan
silih bergantian tanpa penanganan
air bandang datang menakutkan
lantas, siapa yang mau disalahkan?

Retorika dilantunkan
berkoar meminta keadilan--bersamaan
di depan gedung pemerintahan
yang diajukan untuk sang dewan

Kesejahteraan hanya kehampaan
jeritan penderitaan pasti didapatkan
kuserahkan semua ini pada Tuhan
agar tercabut semua kutukan kesenjangan (Yas)

Minggu, 11 Agustus 2019

Perlukah Hiburan Malam Ditutup??? Ini Sikap GMNI Probolinggo

Perlukah Hiburan Malam Ditutup??? Ini Sikap GMNI Probolinggo



DPC GMNI PROBOLINGGO-Hampir sebulan polemik tentang tempat karaoke yakni Pop City dan 888 di Kota Probolinggo menjadi perbincangan hangat masyarakat. Ormas Islam dan Organisasi Kepemudaan memberikan berbagai dukungan pada Walikota untuk tidak memperpanjang izin operasional kedua tempat karaoke tersebut.


Perlu diketahui,  Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) tidak lantas reaksioner menyikapi tersebut. Pasalnya soal menutup atau tidak hal tersebut adalah persoalan teknis.


Namun yang tak kalah pentingnya  adalah bagaimana sebuah kebijakan dirasa mengakomodir semua pihak. Baik Pemkot sendiri, masyarakat dan pengusaha.


DPC GMNI Probolinggo paham bahwa persoalan ini sudah lama menjadi perbincangan masyarakat sejak 2006 silam. Sejak adanya hiburan malam seperti Vegas ,Dinasti, Marknauff , Ayang yang kemudian berujung penutupan.


"Tidak diperpanjangnya atau penutupan hiburan malam tidak sekedar keinginan Pemkot semata, namun juga masyarakat Kota Probolinggo. Berbagai pertimbangan pun diperhatikan sebagai referensi untuk penutupan," ucap Ketua Bidang Sarinah DPC GMNI Probolinggo Riska Dayana.


Tidak sekedar degradasi moral , kemaksiatan, soal ekonomi yang dirasa tak begitu berdampak signifikan bagi Kota Probolinggo, namun ada hal -hal lain yang tak kalah penting perlu diperhatikan.


"GMNI sadar bahwa sejatinya yang dilakukan Pemkot Probolinggo adalah niat yang baik sebagai wujud proteksi atau perlindungan terhadap dampak-dampak khususnya dampak sosial yang ada. Namun, sudah barang tentu niat baik juga dilakukan dengan cara yang baik dan benar sesuai aturan hukum,"tambah Riska.


Atas niatan yang dibangun Pemkot Probolinggo tersebut, DPC GMNI Probolinggo memberikan support dan dukungan moril atas langkah Walikota Hadi Zainal Abidin dengan catatan diantaranya :


Kendati diatur dalam Peraturan Daerah kota Probolinggo Nomor 9 Tahun 2015 tentang izin hiburan. Dan disusul UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, memberikan wewenang pada Walikota  yang disebut ‘Diskresi’ini tetap perlu ada cantolan hukum yang kuat agar tidak ada persoalan hukum dikemudian hari. Saran kami, perlu ada Keputusan Walikota yang mengacu pada Perda diatas dengan hal-hal yang lebih rinci mengatur teknis hiburan , pengawasan , larangan dan sanksi.


Mengingat masa izin yang sudah habis, pihak management karaoke keluarga telah melakukan perpanjangan sebulan sebelum habis masa izinnya sesuai dengan Peraturan Daerah kota Probolinggo Nomor 9 Tahun 2015 tentang izin hiburan. Maka dari itu  Pemerintah Kota Probolinggo perlu menjelaskan pada pihak management agar mereka memahami bahwa Walikota punya kewenangan penuh yang disebut diskresi tersebut.


"Sikap dukungan, usulan dan saran DPC GMNI Probolinggo akan kami buatkan secara rinci dalam surat resmi yang besok akan kami kirim tertuju pada Walikota Probolinggo,"tutup Riska.


Sementara itu, Sukardi Mitho yang juga Ketua Persatuan Alumni GMNI Probolinggo menyebut tidak diperpanjangnya izin tempat karaoke dinilai upaya yang benar. Sejak 2006 silam, tempat-tempat tersebut berpotensi munculnya persoalan sosial di masyarakat.


"Sekalipun belum ada penelitian secara keilmuan, kami memiliki data riil terkait banyaknya masalah sosial (keluarga) yang berantakan karena adanya tempat hiburan tersebut. Tidak hanya menimpa pasangan suami istri, anak-anak keluarganya juga sampai terpisah dari keluarga,"tegas Sukardi.


Lanjutnya, masih banyak tempat hiburan yang tidak berdampak sosial yang buruk. Misalnya taman-taman kota yang memang perlu menjadi ruang nyaman bagi masyarakat Kota Probolinggo.


"Justru bagi kami, kebijakan ini menjadi momentum untuk seluruh pemangku kepentingan duduk bareng dalam satu meja membahas pembangunan kota, secara gotong royong,"tandasnya. (Cit/Den)

Selasa, 06 Agustus 2019

MELARANG MEMBACA ADALAH KEMUNDURAN BESAR DI TENGAH KURANGNYA MINAT BACA


MELARANG MEMBACA  ADALAH KEMUNDURAN BESAR DI TENGAH KURANGNYA MINAT BACA


Oleh : Mat rosit

Buku adalah jendela dunia dengan membaca kita bisa pintar, Kontroversinya buku - buku kiri di beberapa kota mulai dari kediri,vespa literasi di probolinggo dan gramedia Makassar oleh oknum yang menyatakan ikatan cendikiawan muslim indonesia (ICMI).
Sebuah polemik literasi sedang terjadi pada masyarakat kita. Topik kontroversial ini menimbulkan berbagai  reaksi dari berbagai kalangan.Hal ini menjadi candu bagaimana masyarakat kita khususnya aparat kita masih terbayang- bayang dengan PKI,meskipun organisasi ini telah dibubarkan.

Apa buktinya? Terjadi razia terhadap buku-buku yang dianggap berpaham kiri di beberapa wilayah di indonesia. Razia ini dilakukan oleh aparat TNI dan Polri sebagai penegak hukum bahkan oknum yang menyatakan sebagai ICMI. Sehingga, ini menunjukkan bahwa "Kiri" masih dan selalu disamakan dengan "Komunis" pada masyarakat kita.

Padahal, keduanya adalah hal yang sama sekali berbeda. Komunisme adalah bagian dari ideologi kiri, dan tidak semua ideologi kiri itu komunis. Ada Social Democracy, Luxembourgism, , Democratic Socialism, dan berbagai ideologi lainnya. Cakupan istilah "Kiri" itu sendiri begitu lebar, sampai muncul kritik sayap kiri terhadap Komunisme.bagaimana kita bisa tau sejarah komunis di indonesia kejam, kalau kita tidak membaca , mencari anak - anak muda yang suka membaca dan menulis itu langka membaca kok dilarang.
Pelarangan buku adalah bentuk paradoks di negara demokrasi karena memperlihatkan kesewenang-wenangan dalam membatasi kebebasan berpikir, berpendapat, dan berekspresi.
Padahal semua itu dijamin oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, bahkan secara tegas ditulis dalam Undang-Undang Dasar 1945. Melarang buku juga menjadi paradoks bagi kehidupan bermedia di Indonesia yang lebih dari satu dekade terakhir telah mengumandangkan dukungan terhadap kebebasan pers.
 Pelarangan buku, di sisi lain, mengindikasikan ambiguitas kebijakan penguasa. Alih-alih mengantisipasi polemik di masyarakat, lewat tindakan pelarangan buku, pemerintah memperlihatkan praktik-praktik primitif dalam mengontrol, mengarahkan, membatasi, bahkan memandulkan cara berpikir masyarakat.