SARINAH
DALAM PERJUANGAN REPUBLIK INDONESIA
(Seruan
Sukarno terhadap Perempuan Indonesia)
Oleh : Muhammad Alwan Misbachudin.
Bagi Sukarno, nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari
tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan
keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam
gerak perjuangan. Perempuan Indonesia harus bahu membahu dengan laki-laki
mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, zonder
exploitation de lhomme par lhomme.
Sebab syarat mutlak bagi kemenangan revolusi nasional adalah
terwujudnya persatuan nasional, yang barang tentu juga menyangkut hubungan
antara wanita dan laki-laki Indonesia. Namun Sukarno juga mengingatkan,
janganlah dalam revolusi nasional yang berlangsung, wanita misalnya terlalu
menitik beratkan pada pengemukaan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan
tuntutan-tuntutan perjuangan membela kemerdekaan negara dan kemerdekaan bangsa.
Sebaliknya, wanita Indonesia harus melakukan penggabungan tenaga
antara perempuan dan laki-laki yang sehebat-hebatnya dan sebulat-bulatnya.
Laki-laki dan perempuan Indonesia bersama menuju satu tujuan, tiada satu tenaga
pun yang boleh tercecer. Feminis atau sosialis, jika golongan-golongan itu
masih ada dan tetap dipertahankan, jangan sampai bertentangan antara satu sama
lain, sebaliknya golongan-golongan itu harus terus bahu membahu
serapat-rapatnya kesatu arah, kesatu tujuan revolusioner: menggempur
penjajahan, membangunkan negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan
yang merdeka sepenuh-penuhnya.
Sukarno sadar, bahwa masalah-masalah yang menyangkut
persoalan perempuan harus secepatnya dipecahkan. Sukarno pun telah berkali-kali
bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita Indonesia yang membahas tentang masalah-masalah
keperempuanan yang belum tuntas di Indonesia. Sukarno juga tidak segan-segan
menerima setiap keluhan-keluhan dari kalangan wanita yang mengeluhkan
bermacam-macam ragam persoalan perempuan. Misalnya bagaimana menyembuhkan
wanita dari penyakit kopleks inferieur yang telah turun temurun bersarang dalam
jiwa wanita Indonesia, soal bagaimana mendinamiskan wanita Indonesia, soal
memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka pula, soal pendidikan
gadis-gadis dan anak-anak, soal kesehatan dan kebidanan, soal mengefesienkan
rumah tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit saat ini, soal
mempraktekkan persamaan hak yang dalam teorinya telah diakui sebagai hukum
positif di Indonesia, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa dan wanita
di lua daerah, dan lain-lain.
Soal-soal di atas sepintas ada yang mirip dengan soal-soal
yang pernah terjadi pada fase pergerakan wanita tingkat pertama, ada mirip fase
kedua yang membahas tentang keseimbangan antara wanita karier yang merangkap
sebagai ibu rumah tangga. Ada juga yang mirip dengan fase ketiga saat ini yang
bersangkut paut pada upaya pensinergian perjuangan antara perempuan dan
laki-laki menuju terwujudnya sosialisme Indonesia.
Memang masyarakat Indonesia terdiri dari kalangan-kalangan
yang obyektif masih hidup di atas salah satu daripada tiga fase itu. Ada
golongan kelas atas, ada golongan buruh dan tani, dan ada golongan yang
terkungkung oleh paham-paham agama yang masih kolot. Tetapi di dalam
musyawarah-musyawarah yang dilakukan, Sukarno selalu memberi petunjuk
garis-garis besarnya saja. Sukarno selalu mengingatkan bahwa soal wanita
hanyalah dapat diselesaikan oleh wanita itu sendiri. Sukarno sepaham dengan
Vivekananda yang selalu menjawab jika ditanya oleh orang laki-laki tentang
soal-soal kecil urusan wanita (soal-soal yang tidak prinsipil) lantas menjawab:
Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu menanyakan
hal-hal yang semacam itu kepadaku….? Engkau itu apa, maka engkau mengira dapat
memecahkan soal-soal wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau
menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap perempuan? Hands off! Mereka akan mampu
menyelesaikan soal-soalnya sendiri!
Ya, Kemudian Sukarno berpendapat: wanita harus bertindak
sendiri, wanita harus berjuang sendiri! Tetapi ini tidak berarti bahwa wanita
harus berpisah dengan laki-laki. Tidak, untuk kepentingan wanita pula, wanita
harus menjadi roda yang hebat dalam revolusi nasional; wanita di dalam revolusi
Indonesia harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanita pun harus bersatu
aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah, jangan bersaing-saingan. Jangan
ada yang memeluk tangan! Di dalam revolusi nasional, semua gogongan harus
didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan kesatu tujuan pula, jangan
ada dua gogongan, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama
lain. Oleh karena itulah, maka seja dari tahun 1928 saya mengajurkan kepada
kepada wanita Indonesia untuk memborong ketiga-tiga tingkatan itu di dalam satu
gelombang mahasakti, dalam satu sintesa program perjuangan wanita, yang
bersama-sama dengan laki-laki (tidak anti laki-laki) betul-betul menggegap
gempitakan tenaga nasional. Dan sekarang di dalam revolusi nasional,
lebih-lebih lagi saya mendengungkan kepada wanita Indonesia, supaya pemimpin-pemimpinnya
cakap menyusun sintesa program yang demikian itu, dan dengannya menyadarkan,
membangkitkan, menggelorakan seluruh wanita Indonesia dari seluruh lapisan,
menjadi roda hebat atau sayap hebat dari revolusi nasional, revolusi nasional
totaliter.
Jikalau umpamanya di Indonesia terdapat bermacam-macam
perserikatan wanita, apakah neo feminiskah, sosialiskah, jadikanlah
perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin berfederasi atau
beraksi bersama, menjadi satu gelombang maha besar dibawah panji-panjinya
sintesa program itu menggelombang ke arah benteng penjajahan, yang harus
diremukredamkan bersama, dihantam hancur lebur bersama-sama. Buatlah revolusi
Indonesia yang betul-betul revolusi nasional yang totaliter.
Anjuran Sukarno di atas bukanlah anjuran kepada wanita
Indonesia untuk masuk dan bergabung dengan partai sosialis. Sukarno hanya
mengharapkan agar wanita bisa bergerak. Apalagi Sukarno bukanlah seorang
propaganda partai. Paham sosialis yang dikemukakan Sukarno adalah suatu pandangan
dalam arti yang bersifat umum, dan sama sekali tidak berhubungan dengan salah
satu partai sosialis tertentu. Cita-cita sosialisme memang bukan monopoli salah
satu partai dan juga bukan milik golongan manapun. Bahkan jauh sebelum revolusi
Indonesia meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi dadanya banyak kaum
pergerakan Indonesia yang sadar, sosialisme sudah mewahyui nasionalisme
Indonesia menjadi sosio nasionalisme, dan demokrasi kita menjadi sosio
demokrasi.
Jika banyak kaum pergerakan perempuan tidak menyepakati
istilah sosialisme tersebut, Sukarno menyerahkan kepada semua perempuan untuk
mengistilahkannya sendiri, asalkan maknannya tetap sama, yaitu: satu
masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial, yang didalmnya
tiada eksploitasi manusia oleh manusia, tiada eksploitasi manusia oleh negara,
tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang
setengah mati sengsara karena memikul beban yang dobel atau menjadi keledai
yang menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen karena siksaan penyakit
dilematikan antara perempuan pekerja dan perempuan ibu rumah tangga.
Agust Bebel, pejuang wanita dalam bukunya Die Frau und
der Sozialismus mengatakan:
Juga diatas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak
ketinggalan di dalam perjuangan ini, dalam mana diperjuankan kemerdekaan mereka
dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka
mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjuangan sekarang yang mengejar masa
depan yang lebih baik itu, bahwa merka telah bertetap hati ikut serta dalam
perjuangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban membantu mereka utu dalam membuang
semua persangkaan yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta mreka
dalam perjuangan.
Jangan satu orang pun menilaikan tenaganya terlalu rendah,
dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi
apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang
sekecil-kecilpun, yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang
terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun
juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilan sungai kecil, sungai-sungai kecil
menjadi sungai besar, sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu
halangan pun akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebatitu.
Demikianlah pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan, selamanya
alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam
itu, maka kemenangan akhri pasti nanti datang.
Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua
orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara yang lebih rajin dan
lebih giat. Keraguan hati, apakah kita masih akan melihat permualannya periode
kebudayaan yang lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami
permualaannya periode itu, pertimbangan-pertimbangan semacam itu tidak boleh
menghambat kita, dan sekali-kali tidak boleh menjadi sebab untuk meninggalkan
jalan yang sudah kita injak.
Kita mampu meneruskan berapa malasnya atau bagaimana
sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kita pun tak
mampu mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri,
tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepask n di dalam
zaman seperti zaman yang kita alami sekarang. Kita berjuang terus dan berusaha
terus dan tak mempedulikan soal dimana atau kapan batu-batu tandanya zaman
bahabia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.
Dan jikalau kita jatuh dipandang perjuangan ini maka
turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan
keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi keawjiban kita sebagai manusia, dan
dengan keakinan baha tujuan kita pasti nanti tercapai, bagaimanapun juga
musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya tujuan itu!”
Demikianlah kutipan dari Bebel, kemudian Sukarno menambahi
pesan Bebel tersebut kepada perempuan Indonesia: bandingkanlah zaman Bebel
itu denga nzaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada
undang-undang sosialis pun, masih bernama aman jika dibandingkan dengan zaman
kita sekarang ini. Kita sekarang ini, berada dalam zaman perjuangan yang jauh
lebih gegap gempita dari zamannya Bebel. Kita sekarang ini dalam bahaya, negara
kita dalam bahaya, meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur diangakasa,
ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan, kota-kota kita menjadi
puing-puing, desa-desa kita menjadi lautan api, bumi Republik menjadi laksana
menggempa, segenap tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk
mempertahankan Republik. Sungguh jauh lebih genting dibandingkan dengan keadaan
perjuangan sosialis di Jerman. Manakala Bebel menegaskan bahwa tiada seorang
pun boleh ketinggalan, betapa pula dengan kita sekarang ini? Ibaratnya, buka
saja manusia yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi alam ini, yang
berupa apapun harus kita gugahkan, bangkitkan, mobilisasikan untuk membela
negara yang hendak dihancurkan musuk itu, Di Jerman dulu perjuangan di bawah
ancaman undang-undang sosialis, tetapi disini perjangan membela hidup terhadap
serangan kontra revolusi yang sedang memuntahkan peluru da memuntahkan api
sedang mengamuk, membinasa, membunuh dan membakar! Tidak seorang pun boleh
ketinggalan dalam perjuangan yang semacam itu!
Ingat
perlu diperhatikan. Wahai wanita Indonesia, kewajibanmu telah jelas! Sekarang
ikutilah serta
mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah
selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun negara nasional.
Jangan
ketinggalan di dalam revolusi nasional ini dari awal sampai akhir, dan jangan
ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan
kesejahteraan sosial.
Di
dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti
menjadi wanita yang bahagia dan jadilah kau wanita yang MERDEKA . . . .!!!