Jumat, 19 Juli 2019

SARINAH DALAM PERJUANGAN REPUBLIK INDONESIA



SARINAH DALAM PERJUANGAN REPUBLIK INDONESIA

(Seruan Sukarno terhadap Perempuan Indonesia)



Oleh : Muhammad Alwan Misbachudin.

Bagi Sukarno, nasib kaum wanita Indonesia tergantung dari tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus terus mengingatkan dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka ikut dalam gerak perjuangan. Perempuan Indonesia harus bahu membahu dengan laki-laki mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, zonder exploitation de lhomme par lhomme.
Sebab syarat mutlak bagi kemenangan revolusi nasional adalah terwujudnya persatuan nasional, yang barang tentu juga menyangkut hubungan antara wanita dan laki-laki Indonesia. Namun Sukarno juga mengingatkan, janganlah dalam revolusi nasional yang berlangsung, wanita misalnya terlalu menitik beratkan pada pengemukaan tuntutan-tuntutan feministis, dan melupakan tuntutan-tuntutan perjuangan membela kemerdekaan negara dan kemerdekaan bangsa.


Sebaliknya, wanita Indonesia harus melakukan penggabungan tenaga antara perempuan dan laki-laki yang sehebat-hebatnya dan sebulat-bulatnya. Laki-laki dan perempuan Indonesia bersama menuju satu tujuan, tiada satu tenaga pun yang boleh tercecer. Feminis atau sosialis, jika golongan-golongan itu masih ada dan tetap dipertahankan, jangan sampai bertentangan antara satu sama lain, sebaliknya golongan-golongan itu harus terus bahu membahu serapat-rapatnya kesatu arah, kesatu tujuan revolusioner: menggempur penjajahan, membangunkan negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia dan yang merdeka sepenuh-penuhnya.
Sukarno sadar, bahwa masalah-masalah yang menyangkut persoalan perempuan harus secepatnya dipecahkan. Sukarno pun telah berkali-kali bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin wanita Indonesia yang membahas tentang masalah-masalah keperempuanan yang belum tuntas di Indonesia. Sukarno juga tidak segan-segan menerima setiap keluhan-keluhan dari kalangan wanita yang mengeluhkan bermacam-macam ragam persoalan perempuan. Misalnya bagaimana menyembuhkan wanita dari penyakit kopleks inferieur yang telah turun temurun bersarang dalam jiwa wanita Indonesia, soal bagaimana mendinamiskan wanita Indonesia, soal memberi pengetahuan secepat-cepatnya kepada mereka pula, soal pendidikan gadis-gadis dan anak-anak, soal kesehatan dan kebidanan, soal mengefesienkan rumah tangga, soal wanita baik atau tidak menjadi prajurit saat ini, soal mempraktekkan persamaan hak yang dalam teorinya telah diakui sebagai hukum positif di Indonesia, soal mengejar jarak kemajuan antara wanita di Jawa dan wanita di lua daerah, dan lain-lain.
Soal-soal di atas sepintas ada yang mirip dengan soal-soal yang pernah terjadi pada fase pergerakan wanita tingkat pertama, ada mirip fase kedua yang membahas tentang keseimbangan antara wanita karier yang merangkap sebagai ibu rumah tangga. Ada juga yang mirip dengan fase ketiga saat ini yang bersangkut paut pada upaya pensinergian perjuangan antara perempuan dan laki-laki menuju terwujudnya sosialisme Indonesia.




Memang masyarakat Indonesia terdiri dari kalangan-kalangan yang obyektif masih hidup di atas salah satu daripada tiga fase itu. Ada golongan kelas atas, ada golongan buruh dan tani, dan ada golongan yang terkungkung oleh paham-paham agama yang masih kolot. Tetapi di dalam musyawarah-musyawarah yang dilakukan, Sukarno selalu memberi petunjuk garis-garis besarnya saja. Sukarno selalu mengingatkan bahwa soal wanita hanyalah dapat diselesaikan oleh wanita itu sendiri. Sukarno sepaham dengan Vivekananda yang selalu menjawab jika ditanya oleh orang laki-laki tentang soal-soal kecil urusan wanita (soal-soal yang tidak prinsipil) lantas menjawab:


Apakah aku ini seorang wanita, maka engkau selalu menanyakan hal-hal yang semacam itu kepadaku….? Engkau itu apa, maka engkau mengira dapat memecahkan soal-soal wanita? Apa engkau itu Tuhan Allah, maka engkau mau menguasai tiap-tiap janda dan tiap-tiap perempuan? Hands off! Mereka akan mampu menyelesaikan soal-soalnya sendiri!

Ya, Kemudian Sukarno berpendapat: wanita harus bertindak sendiri, wanita harus berjuang sendiri! Tetapi ini tidak berarti bahwa wanita harus berpisah dengan laki-laki. Tidak, untuk kepentingan wanita pula, wanita harus menjadi roda yang hebat dalam revolusi nasional; wanita di dalam revolusi Indonesia harus bersatu aksi dengan laki-laki, dan wanita pun harus bersatu aksi dengan wanita pula. Jangan terpecah belah, jangan bersaing-saingan. Jangan ada yang memeluk tangan! Di dalam revolusi nasional, semua gogongan harus didinamisir, dan semua golongan itu harus diarahkan kesatu tujuan pula, jangan ada dua gogongan, walau yang sekecil-kecilnyapun, yang bertabrakan satu sama lain. Oleh karena itulah, maka seja dari tahun 1928 saya mengajurkan kepada kepada wanita Indonesia untuk memborong ketiga-tiga tingkatan itu di dalam satu gelombang mahasakti, dalam satu sintesa program perjuangan wanita, yang bersama-sama dengan laki-laki (tidak anti laki-laki) betul-betul menggegap gempitakan tenaga nasional. Dan sekarang di dalam revolusi nasional, lebih-lebih lagi saya mendengungkan kepada wanita Indonesia, supaya pemimpin-pemimpinnya cakap menyusun sintesa program yang demikian itu, dan dengannya menyadarkan, membangkitkan, menggelorakan seluruh wanita Indonesia dari seluruh lapisan, menjadi roda hebat atau sayap hebat dari revolusi nasional, revolusi nasional totaliter.
Jikalau umpamanya di Indonesia terdapat bermacam-macam perserikatan wanita, apakah neo feminiskah, sosialiskah, jadikanlah perserikatan atau partai-partai wanita itu sedapat mungkin berfederasi atau beraksi bersama, menjadi satu gelombang maha besar dibawah panji-panjinya sintesa program itu menggelombang ke arah benteng penjajahan, yang harus diremukredamkan bersama, dihantam hancur lebur bersama-sama. Buatlah revolusi Indonesia yang betul-betul revolusi nasional yang totaliter.
Anjuran Sukarno di atas bukanlah anjuran kepada wanita Indonesia untuk masuk dan bergabung dengan partai sosialis. Sukarno hanya mengharapkan agar wanita bisa bergerak. Apalagi Sukarno bukanlah seorang propaganda partai. Paham sosialis yang dikemukakan Sukarno adalah suatu pandangan dalam arti yang bersifat umum, dan sama sekali tidak berhubungan dengan salah satu partai sosialis tertentu. Cita-cita sosialisme memang bukan monopoli salah satu partai dan juga bukan milik golongan manapun. Bahkan jauh sebelum revolusi Indonesia meledak, cita-cita sosialisme telah mengisi dadanya banyak kaum pergerakan Indonesia yang sadar, sosialisme sudah mewahyui nasionalisme Indonesia menjadi sosio nasionalisme, dan demokrasi kita menjadi sosio demokrasi.
Jika banyak kaum pergerakan perempuan tidak menyepakati istilah sosialisme tersebut, Sukarno menyerahkan kepada semua perempuan untuk mengistilahkannya sendiri, asalkan maknannya tetap sama, yaitu: satu masyarakat yang berkesejahteraan sosial dan berkeadilan sosial, yang didalmnya tiada eksploitasi manusia oleh manusia, tiada eksploitasi manusia oleh negara, tiada kapitalisme, tiada kemiskinan, tiada perbudakan, tiada wanita yang setengah mati sengsara karena memikul beban yang dobel atau menjadi keledai yang menarik dua gerobak, tiada wanita yang senewen karena siksaan penyakit dilematikan antara perempuan pekerja dan perempuan ibu rumah tangga.
Agust Bebel, pejuang wanita dalam bukunya Die Frau und der Sozialismus mengatakan:
Juga diatas pundak wanitalah terletak kewajiban untuk tidak ketinggalan di dalam perjuangan ini, dalam mana diperjuankan kemerdekaan mereka dan pembebasan mereka. Mereka sendirilah harus membuktikan, bahwa mereka mengerti benar-benar tempat mereka dalam perjuangan sekarang yang mengejar masa depan yang lebih baik itu, bahwa merka telah bertetap hati ikut serta dalam perjuangan itu. Pihak laki-laki berkewajiban membantu mereka utu dalam membuang semua persangkaan yang salah, dan membantu mereka itu dalam ikut serta mreka dalam perjuangan.
Jangan satu orang pun menilaikan tenaganya terlalu rendah, dan mengira bahwa satu orang ikut atau satu orang tidak ikut, tidak menjadi apa. Guna kemajuan kemanusiaan itu, tiada tenaga satupun, walau yang sekecil-kecilpun, yang dapat dianggap tiada berharga. Tetesan air yang terus-menerus, akhirnya membuat lobang dalam batu yang bagaimana kerasnyapun juga. Dan tetesan-tetesan air menjadilan sungai kecil, sungai-sungai kecil menjadi sungai besar, sungai besar berhimpun dalam sungai benua. Tiada satu halangan pun akhirnya cukup kuat untuk menahan alirannya yang maha hebatitu. Demikianlah pula keadaan di dalam hidup kebudayaannya kemanusiaan, selamanya alam itu memang menjadi guru kita. Jikalau kita bertindak sesuai dengan alam itu, maka kemenangan akhri pasti nanti datang.
Kemenangan itu akan makin menjadi besar, bilamana semua orang masing-masing meneruskan perjalanannya dengan cara yang lebih rajin dan lebih giat. Keraguan hati, apakah kita masih akan melihat permualannya periode kebudayaan yang lebih indah itu, yakni apakah kita masih akan mengalami permualaannya periode itu, pertimbangan-pertimbangan semacam itu tidak boleh menghambat kita, dan sekali-kali tidak boleh menjadi sebab untuk meninggalkan jalan yang sudah kita injak.
Kita mampu meneruskan berapa malasnya atau bagaimana sifatnya bagian-bagian pertumbuhan itu satu-persatu, sebagaimana kita pun tak mampu mengatakan apa-apa dengan yakin tentang berapa panjang usia kita sendiri, tetapi harapan akan mengalami kemenangan itu tak perlu kita lepask n di dalam zaman seperti zaman yang kita alami sekarang. Kita berjuang terus dan berusaha terus dan tak mempedulikan soal dimana atau kapan batu-batu tandanya zaman bahabia bagi kemanusiaan itu akan dipasang.



Dan jikalau kita jatuh dipandang perjuangan ini maka turunan-turunan kita mengisi tempat kita itu. Dengan demikian kita jatuh dengan keinsyafan, bahwa kita telah memenuhi keawjiban kita sebagai manusia, dan dengan keakinan baha tujuan kita pasti nanti tercapai, bagaimanapun juga musuh-musuhnya kemanusiaan menentang tercapainya tujuan itu!”
Demikianlah kutipan dari Bebel, kemudian Sukarno menambahi pesan Bebel tersebut kepada perempuan Indonesia: bandingkanlah zaman Bebel itu denga nzaman kita sekarang ini! Bebel bicara dalam zaman yang meski ada undang-undang sosialis pun, masih bernama aman jika dibandingkan dengan zaman kita sekarang ini. Kita sekarang ini, berada dalam zaman perjuangan yang jauh lebih gegap gempita dari zamannya Bebel. Kita sekarang ini dalam bahaya, negara kita dalam bahaya, meriam, bom dan dinamit menggeledek dan mengguntur diangakasa, ribuan rakyat dan prajurit kita mati bergelimpangan, kota-kota kita menjadi puing-puing, desa-desa kita menjadi lautan api, bumi Republik menjadi laksana menggempa, segenap tenaga pertahanan kita kerahkan habis-habisan untuk mempertahankan Republik. Sungguh jauh lebih genting dibandingkan dengan keadaan perjuangan sosialis di Jerman. Manakala Bebel menegaskan bahwa tiada seorang pun boleh ketinggalan, betapa pula dengan kita sekarang ini? Ibaratnya, buka saja manusia yang harus kita kerahkan, tetapi juga segala isi alam ini, yang berupa apapun harus kita gugahkan, bangkitkan, mobilisasikan untuk membela negara yang hendak dihancurkan musuk itu, Di Jerman dulu perjuangan di bawah ancaman undang-undang sosialis, tetapi disini perjangan membela hidup terhadap serangan kontra revolusi yang sedang memuntahkan peluru da memuntahkan api sedang mengamuk, membinasa, membunuh dan membakar! Tidak seorang pun boleh ketinggalan dalam perjuangan yang semacam itu!

Ingat perlu diperhatikan. Wahai wanita Indonesia, kewajibanmu telah jelas! Sekarang ikutilah  serta mutlak dalam usaha menyelamatkan republik, dan nanti jika republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun negara nasional.
Jangan ketinggalan di dalam revolusi nasional ini dari awal sampai akhir, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial.
Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia dan jadilah kau wanita yang MERDEKA . . . .!!!

share to whatsapp

1 komentar: