Senin, 25 November 2019

Harapan Teruntuk Nahkoda GMNI

Harapan Teruntuk Nahkoda GMNI
Oleh : Yasinta Riski Permatasari



Sehubungan dengan aturan ad/art bahwasanya dalam masa kepemimpinan Dewan Pimpimpinan Pusat atau yang disebut DPP di organisasi GmnI yaitu selama 2 tahun, sehingga Setiap 2 tahun sekali diadakannya kongres GmnI. 


Harapan harapan yang baik untuk Pemimpin GMNI pastinya Sudah tertanam di masing masing kadernya. Pemimpin yang memiliki jiwa Nasinonalis akan tanah Air Indonesia dan memiliki pondasi integritas hati nurani yang benar, kesatuan antara pikiran, hati dan perilaku yang menjadi  modal dasar bagi pemimpin untuk bisa melakukan perubahan yang baik. 


Seorang pemimpin harapan kita yaitu, seorang pemimpin yang tidak hanya harus seorang yang kharismatik, tetapi juga pemimpin yang menjadi sosok penebar inspiratif untuk Kita kader2 gmni dan calon-calon kader GmnI.  Menurut Ummiy fauziyah Laili, Seorang pemimpin tidak harus kharismatik, tetapi pemimpin harus punya inspirasi, bagaimana menghargai dengan setulus jiwa kepada sebuah bangsa dan rakyatnya, inilah kriteria pemimpin inspiratif yang bisa digaris bawahi . Zenger & Folkman menyebut lima karakteristik pemimpin inspiratif: karakter yang berintegritas, insan yang kapabel, fokus pada results, cerdas interpersonal, dan memimpin perubahan secara organisasional.


Seorang pemimpin yang telah dipilih,  bukanlah sebagai seorang atasan di dalam hierarki kerakyatan, melainkan menjadi seorang pelayan yang dengan tulus hati melayani dan mengayomi seluruh rakyatnya termasuk di dalamnya mengutamakan kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi rakyat. Mengutamakan kebutuhan rakyatnya berarti peduli terhadap apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya demi tercapainya harapan-harapan rakyat. Pemimpin harus terbuka terhadap aspirasi rakyatnya dalam mengemban tugas dan amanahnya.


Oleh karena itu, harapan harapan dalam tulisan ini semoga terealisasikan untuk kemajuan Dan kejayaan OKP khususnya GmnI Kedepannya..


Dan semoga Kongres di Ambon esok ini dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas dan berkompeten untuk  GmnI dan khususnya dalam memperjuangkan Kaum Marhaen Untuk Kesejahteraan NKRI.

Rendahnya Minat Membaca Para Pemuda

Rendahnya Minat Membaca  Para Pemuda
Oleh : Guruh Yoni Prananda


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki budaya membaca sangat memprihatinkan. Lemahnya budaya membaca di Indonesia dikarenakan oleh beberapa faktor. Skor rata-rata kemampuan membaca remaja Indonesia menempati peringkat 57 dari 62 negara. Rangking itu lebih rendah dari Montenegro, Yordania, Tunisia atau dibawah rata-rata negara yang masuk Organization for Economic Cooperation Development (OECD) (Media Indonesia, 2011). 


Salah satu penyebabnya, maraknya acara talk show di televisi yang mencerminkan budaya berbicara lebih kuat dimasyarakat Indonesia daripada budaya membaca. Untuk menumbuhkannya dapat dilakukan dengan memunculkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). TBM menyediakan buku-buku sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar (Media Indonesia, 2011).


Budayawan Emha Ainun Najib (1995), pernah mengatakan, di Indonesia terdapat "kekeliruan" tahapan budaya yang berakibat cukup fatal. Yang dimaksud tahapan budaya disini adalah dari budaya membaca ke budaya elektronik (televisi dan sejenisnya). Pada saat budaya membaca belum terbangun dengan kokoh di negara kita, masuklah budaya elektronik secara gencar dan masif. 


Akibatnya budaya membaca yang masih tertatih-tatih itu tergerus oleh budaya elektronik. Pasalnya, budaya elektronik ini menawarkan sesuatu yang menyenangkan karena fungsinya memang untuk menghibur. Sekalipun budaya elektronik ini bisa juga digunakan untuk media pendidikan, tetapi praktiknya sangat minim. Sementara itu budaya membaca yang membutuhkan keseriusan dan ketekunan itu tentu kian ditinggalkan oleh para pemuda. 



Setiap individu, terutama kaum muda, semestinya menyadari pentingnya pembudayaan gemar membaca dan gemar belajar. Idealnya kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk perilaku nyata sehari-hari di lingkungan masyarakat , melalui kegiatan membaca di perpustakaan, membaca di waktu senggang, dan sejenisnya. Membaca merupakan kegiatan yang memang diperuntukkan kepada siapa saja,tanpa memandang usia, jenis kelamin, status ekonomi ataupun yang lainnya, khususnya bagi kaum muda seharusnya menjadi suatu rutinitas dan selayaknya wajib dilakukan, karena tugas kaum muda adalah belajar. Membaca merupakan bagian dari belajar yang dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun berada dan mau untuk melakukannya.  



Harus jujur diakui, kaum muda telah terpengaruh pada budaya-budaya nir-intelektual, yakni ngrumpi tiada arah. Disadari atau tidak, ada yang hilang dari budaya kaum muda. kaum muda sebagai aktor intelektual telah kehilangan identitasnya. Tentu kita paham terkait peraniron stock (cadangan keras) yang disandang mahasiswa. Peraniron stock menegaskan bahwa kaum muda adalah calon-calon pemimpin bangsa yang kelak mengendalikan kepemimpinan di negeri ini. 


Budaya membaca merupakan sesuatu yang berharga dalam mencapai kemajuan penghidupan dan ketinggian budaya seseorang. Untuk melihat apakah seseorang memiliki pengetahuan luas dan peradaban tinggi, sedang, atau primitif, dapat dilihat dari aktifitas literasi (baca-tulis) yang dilakukannya. Semakin tinggi aktifitas membacanya, maka dapat diduga semakin tinggi pula tingkat penguasaan pengetahuannya. Roijakers (1980), salah seorang pakar pendidikan, mengaitkan peranan literasi dengan pengembangan karier sesorang. 


Menurutnya, hanya melalui kegiatan membaca orang dapat mengembangkan diri dalam bidangnya masing-masing secara maksimal serta dapat mengikuti perkembangan baru yang terjadi. Dengan perkataan lain, kedudukan kemahiran membaca pada abad informasi merupakan modal utama bagi siapa saja yang berkehendak meningkatkan kemampuannya.


Kebiasaan membaca adalah ketrampilan yang diperoleh setelah seseorang dilahirkan, bukan ketrampilan bawaan. Oleh karena itu kebiasaan membaca dapat dipupuk, dibina, dan dikembangkan. Bagi negara-negara berkembang, aktivitas membaca pada umumnya adalah untuk memperoleh manfaat langsung. Untuk tujuan akademik membaca adalah untuk memenuhi tuntutan kurikulum sekolah atau Perguruan Tinggi. 


Buku sebagai media transformasi dan penyebarluasan ilmu dapat menembus batas-batas geografis suatu negara, sehingga ilmu pengetahuan dapat dikomunikasikan dan digunakan dengan cepat di berbagai belahan dunia. Semakin banyak membaca buku, semakin bertambah wawasan kita terhadap permasalahan di dunia. Karena itulah buku disebut sebagai jendela dunia. Dalam konteks iniperan keluarga menjadi sangat penting, kedua orangtualah yang pertama-tama harus menumbuhkan kegemaran membaca pada anak-anak mereka. 


Kebiasaan budaya membaca di kalangan masyarakat dalam dunia pendidikan, boleh dikatakan masih sangat jauh dari menggembirakan. Sedikit diantara anak-anak didik, mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang gemar membaca. 


Di era globalisasi dengan kemajuan teknologi, kebanyakan orang cenderung mendengar dan berbicara ketimbang melihat diikuti membaca. Di lembaga lembaga pendidikanpun tradisi lisan mendominasi proses belajar mengajar sehingga minat baca dan ingin memiliki buku-buku ilmu pengetahuan bukanlah prioritas utama atau sama sekali tidak difungsikan secara efisien. 


Kenyataan menunjukkan adanya dua alternatif pilihan, yakni ketika orang dihadapkan dengan buku-buku ilmu pengetahuan dan tayangan film menarik, orang akan cenderung melelahkan indra penglihatan (mata) untuk menonton film berjam-jam daripada membaca buku-buku ilmu pengetahuan. (Gur/Drw)

Selasa, 12 November 2019

Tegas, GMNI Probolinggo Minta Semua Pejabat Terus Gunakan Salam Lintas Agama



PROBOLINGGO-DPC GMNI PROBOLINGGO, Himbauan larangan salam lintas agama bagi para pejabat dalam kegiatan resmi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terus menuai polemik. Tak sedikit yang rupanya keberatan dan menolak keinginan lembaga para ulama itu.


DPC GMNI Probolinggo menilai, MUI perlu hati-hati sebab persoalan yang berkaitan dengan agama memiliki sisi sensitif yang begitu tinggi. Sementara rakyat Indonesia berdiri karena banyaknya perbedaan.


Kita tahu, terdapat beberapa agama yang diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni Agama Islam, Kristen, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Umumnya pejabat negara sebelum berpidato atau mengakhirinya akan mengucap Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semuanya, Shalom. Om Swastiastu. Namo Buddhaya. Salam Kebajikan.

Padahal Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU Helmy Faishal Zainin mengatakan salam dari berbagai agama yang sering disampaikan para tokoh merupakan budaya yang memperkuat persaudaraan kebangsaan.

Menurut Sekjen PBNU, sebagai salam kebangsaan yang tentu semua para tokoh atau pemimpin bermaksud untuk mempersatukan. Helmy mengatakan tentu salam yang dimaksud para pemimpin itu adalah dalam suatu pertemuan yang diyakini terdapat peserta dari berbagai masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda.

Bahkan, Setelah melakukan kajian ilmiah dalam perspektif fikih Islam, melalui Bahtsul Masa'il, PWNU Jatim pun menyatakan salam lintas agama diperbolehkan. Hasil Bahtsul Masa'il PWNU Jatim ini disampaikan oleh Khatib Syuriah PWNU Jatim KH Syafrudin Syarif.

Dari hasil kajian tersebut, PWNU Jatim mengeluarkan beberapa keputusan, di antaranya menyebutkan bahwa pejabat Muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, atau diikuti dengan ucapan salam nasional seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua dan semisalnya.

Namun demikian dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat Muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama.

"Kami rasa himbauan MUI Jawa Timur terlalu berlebihan, karena salam lintas agama itu merupakan bentuk toleransi kita antar sesama umat beragama. Dan pelarangan tersebut berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila. Walaupun itu hanya bersifat himbauan tapi memicu kontroversi di kalangan masyarakat,"ujar Pelaksana Tugas Ketua DPC GMNI Probolinggo, Riska Dayana,  Rabu (13/11).

Atas hal itu, atas dasar menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa pihaknya menolak himbauan MUI Jatim tersebut. Bahkan, meminta para pejabat terus menggaungkan salam lintas agama seperti apa yang disampaikan Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Lumajang Thoriqul Haq.

"Saya mengapresiasi kedua kepala daerah tersebut yang masih tetap ingin menggunakan salam lintas agama. Pejabat itu milik rakyat dimana rakyat Indonesia memiliki keberagaman yang semuanya memiliki kedudukan yang sama untuk dilindungi,"tandasnya.

Secara tegas DPC GMNI Probolinggo meminta MUI Jatim batalkan pelarangan tersebut dan tidak dijadikan sebuah fatwa. Apalagi Presiden Joko Widodo dalam setiap agenda kenegaraan terbiasa mengucap salam tersebut sebagai wujud merangkul semua kalangan.

Sementara itu, pengurus DPC GMNI Probolinggo Dewi Fitriani juga menilai langkah MUI Jatim tersebut dinilai berlebihan. Baginya MUI gampang sekali  untuk mengeluarkan fatwa sesat serta haram.

Padahal seperti kita semua pahami mereka ini hanya sebuah lembaga independen untuk mengayomi umat islam di Indonesia. Tujuannya yakni membantu Pemerintah melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat. 

Namun lebel haram dan halal harusnya tak melulu digodok agar tak menimbulkan keresahan di masyarakat. Dengan alasan aqidah kita akan berkurang jika mengucapkan salam tersebut, dan Allah akan murka jika itu dilakukan. 

"Bukankah sedari dulu banyak pejabat publik yang sudah melakukan nya? Mengapa baru dipermasalahkan sekarang? Lagipula sebagai bentuk akukturasi budaya untuk memperkuat ukhuwah wathoniyyah atau persaudaraan kebangsaan, saya rasa itu hal yang sah-sah saja untuk dilakukan,"tegasnya.

Ia menegaskan, salam itu sah-sah saja  bila diucapkan di negara majemuk, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia  terdiri multietnis, multikultural yang harus disatukan dalam kaitannya menjaga kerukunan dan merajut kebhinekaan. (Ris/Dew/Drw)

Minggu, 10 November 2019

Kenapa Harus PNS

Kenapa Harus PNS
(By  : Bung Rosid) 



PNS ( Pegawai Negeri Sipil ) mungkin ini salah satu pekerjaan yang banyak di inginkan oleh orang tua kita tentunya mereka tidak ingin kita hidup melarat bagaimana tidak, Mendapat tunjangan pensiun, tunjangan kinerja, serta fasilitas kesehatan yang diberikan negara menjadikan banyak orang bersemangat menjadi pegawai negara sipil ( PNS).


Namun, menjadi PNS tidak semudah membalikkan telapak tangan. Setelah melalui berbagai seleksi yang ketat dari pemerintah, seorang PNS diharapkan menjadi seorang abdi negara yang mempunyai integritas, cerdas serta berkomitmen pada penugasannya. Pekerjaan abdi pemerintah sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Mereka adalah kalangan bumiputra yang dipekerjakan oleh Belanda untuk membantu segala aktivitas pemerintahan kolonial. Pekerjaan itu baik administrasi, ataupun pekerjaan kelas bawah. Intinya, mereka yang dipekerjakan oleh kolonial berstatus sebagai pegawai kelas bawah yang sebelumnya harus mendapat kepercayaan dari pihak kolonial. Ketika pendudukan Jepang, pegawai yang sebelumnya dipekerjakan oleh Belanda otomatis langsung terintergrasi di bawah pendudukan Jepang.



Hal ini senada ketika Indonesia merdeka, pegawai yang berada di bawah pemerintahan Jepang langsung berada di bawah Pemerintah Republik Indonesia. Mereka ini yang nantinya akan terhimpun dalam satu wadah khusus. Korpri sebagai wadah Ketika rezim Orde Baru mulai berkuasa, Soeharto mulai menata pemerintahan yang ada. Tak luput dari pantauannya adalah mengenai pembentukan sebuah wadah untuk menghimpun pegawai Republik Indonesia.


Ketika saya awal masuk kuliah pertama mengambil jurusan pertanian di salah satu universitas ternama di probolinggo yaitu Universitas kebanggan mahasiswa lokal probolinggo namanya Universitas Panca Marga karena dari universitas inilah banyak terbentuk kaula muda Probolinggo yang nantinya akan menjadi ujung tombak mengabdikan ilmu dan keterampilanya di desa – desa sekitar Probolinggo.


Tetapi beda pendapat dengan kehendak orang tua bahwa saya diharuskan masuk ke Fakultas Keguruan Dan lmu Pendidikan (FKIP) jadi saya putuskan masuk di jurusan ini selain juga orang tua menghendaki pas juga saya suka pelajaran PKN (pendidikan Kewarganegaraan) , saya masih ingat pada waktu itu duduk di ruang tamu bersama ibu bapak sedikit celetupan kamu jadi seorang guru ya biar nanti jadi Pegawai Negeri Sipil ucap bapak kesaya, tetapi pada waktu itu saya tidak jawab iya ataupun tidak diam saja.siapa yang tidak ingin jadi seorang PNS pada waktu itu karena di lingkungan mereka pekerjaan ini adalah pekerjaan yang mewah dan bergengsi .


PNS menurut saya adalah pekerjaan yang sangat berat dimana mereka bekerja dengan disiplin tinggi menjadi abdi negara karena mereka mengemban tanggung jawab besar terhadap negara ini, jadi kemungkinan besar saya tidak mampu mengemban amanat dan tanggung jawab itu. Hanya orang – orang terpilih yang akan lolos dan bisa mengemban amanat itu.

Bagi saya mengabdi dan berjiwa nasionalis tidak harus jadi PNS, tentunya tidak mengurangi rasa hormat saya kepada abdi negara ini bila di suruh memilih 10 pekerjaan profesional mungkin Pegawai Negeri sipil lah yang saya pilih nomer 10 terakhi,r PNS adalah cita –cita masa Orde Baru dan cita – cita anak tahun 70an, tetapi di era milineal sudah banyak pekerjaan yang lain tidak harus PNS.

Pesan saya bagi kaum muda kenepa tidak harus ngebet jadi PNS 1. Kemungkinan diterima sangat kecil 2. Proses penerimaan sarat politik 3.Rawan dimanfaatkan diri sendiri 4.lahan basah korupsi 5. Sulit untuk memprotes dan mengawal kebijakan pemerintah.