PROBOLINGGO-DPC GMNI PROBOLINGGO, Himbauan larangan salam lintas agama bagi para pejabat dalam kegiatan resmi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terus menuai polemik. Tak sedikit yang rupanya keberatan dan menolak keinginan lembaga para ulama itu.
DPC GMNI Probolinggo menilai, MUI perlu hati-hati sebab persoalan yang berkaitan dengan agama memiliki sisi sensitif yang begitu tinggi. Sementara rakyat Indonesia berdiri karena banyaknya perbedaan.
Kita tahu, terdapat beberapa agama yang diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni Agama Islam, Kristen, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Umumnya pejabat negara sebelum berpidato atau mengakhirinya akan mengucap Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semuanya, Shalom. Om Swastiastu. Namo Buddhaya. Salam Kebajikan.
Padahal Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU Helmy Faishal Zainin mengatakan salam dari berbagai agama yang sering disampaikan para tokoh merupakan budaya yang memperkuat persaudaraan kebangsaan.
Menurut Sekjen PBNU, sebagai salam kebangsaan yang tentu semua para tokoh atau pemimpin bermaksud untuk mempersatukan. Helmy mengatakan tentu salam yang dimaksud para pemimpin itu adalah dalam suatu pertemuan yang diyakini terdapat peserta dari berbagai masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda.
Bahkan, Setelah melakukan kajian ilmiah dalam perspektif fikih Islam, melalui Bahtsul Masa'il, PWNU Jatim pun menyatakan salam lintas agama diperbolehkan. Hasil Bahtsul Masa'il PWNU Jatim ini disampaikan oleh Khatib Syuriah PWNU Jatim KH Syafrudin Syarif.
Dari hasil kajian tersebut, PWNU Jatim mengeluarkan beberapa keputusan, di antaranya menyebutkan bahwa pejabat Muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, atau diikuti dengan ucapan salam nasional seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua dan semisalnya.
Namun demikian dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat Muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama.
"Kami rasa himbauan MUI Jawa Timur terlalu berlebihan, karena salam lintas agama itu merupakan bentuk toleransi kita antar sesama umat beragama. Dan pelarangan tersebut berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila. Walaupun itu hanya bersifat himbauan tapi memicu kontroversi di kalangan masyarakat,"ujar Pelaksana Tugas Ketua DPC GMNI Probolinggo, Riska Dayana, Rabu (13/11).
Atas hal itu, atas dasar menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa pihaknya menolak himbauan MUI Jatim tersebut. Bahkan, meminta para pejabat terus menggaungkan salam lintas agama seperti apa yang disampaikan Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Bupati Lumajang Thoriqul Haq.
"Saya mengapresiasi kedua kepala daerah tersebut yang masih tetap ingin menggunakan salam lintas agama. Pejabat itu milik rakyat dimana rakyat Indonesia memiliki keberagaman yang semuanya memiliki kedudukan yang sama untuk dilindungi,"tandasnya.
Secara tegas DPC GMNI Probolinggo meminta MUI Jatim batalkan pelarangan tersebut dan tidak dijadikan sebuah fatwa. Apalagi Presiden Joko Widodo dalam setiap agenda kenegaraan terbiasa mengucap salam tersebut sebagai wujud merangkul semua kalangan.
Sementara itu, pengurus DPC GMNI Probolinggo Dewi Fitriani juga menilai langkah MUI Jatim tersebut dinilai berlebihan. Baginya MUI gampang sekali untuk mengeluarkan fatwa sesat serta haram.
Padahal seperti kita semua pahami mereka ini hanya sebuah lembaga independen untuk mengayomi umat islam di Indonesia. Tujuannya yakni membantu Pemerintah melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat.
Namun lebel haram dan halal harusnya tak melulu digodok agar tak menimbulkan keresahan di masyarakat. Dengan alasan aqidah kita akan berkurang jika mengucapkan salam tersebut, dan Allah akan murka jika itu dilakukan.
"Bukankah sedari dulu banyak pejabat publik yang sudah melakukan nya? Mengapa baru dipermasalahkan sekarang? Lagipula sebagai bentuk akukturasi budaya untuk memperkuat ukhuwah wathoniyyah atau persaudaraan kebangsaan, saya rasa itu hal yang sah-sah saja untuk dilakukan,"tegasnya.
Ia menegaskan, salam itu sah-sah saja bila diucapkan di negara majemuk, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri multietnis, multikultural yang harus disatukan dalam kaitannya menjaga kerukunan dan merajut kebhinekaan. (Ris/Dew/Drw)
0 komentar:
Posting Komentar