Minggu, 29 Maret 2020

Tolak Lockdown, GMNI Probolinggo Lebih Sarankan 'Physical Distancing'

Tolak Lockdown, GMNI Probolinggo Lebih Sarankan 'Physical Distancing' 


DPC GMNI PROBOLINGGO-PROBOLINGGO-Baru-baru ini Pemerintah Pusat mewacanakan kebijakan lockdown untuk mencegah Virus Corona baru (Covid-19). Bukan lockdown pada umumnya, namun disebut sebagai karantina kewilayahan.

Hal itu disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD melalui converence. Hanya saja, regulasinya masih disusun yang dikabarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP).

Secara tegas, Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Probolinggo menolak, jika kebijakan lockdown seperti negara lain sepeti Italia, Amerika Serikat, Prancis dan terbaru Thailand.

Bukan tanpa alasan, sebab kebijakan lockdown selain melemahkan perekonomian Indonesia juga matinya mata pencaharian masyarakat. Dampaknya kelaparan, larinya pada perbuatan kriminal.

"Tidak sepakat, belum siapnya pemerintah Indonesia terkait penerapan Lockdown, selain menimbulkan beberapa masalah terhadap ekonomi, politik, lockdown hanya akan berdampak ketimpangan bagi masyarakat, yang kaya menimbun yang miskin mati kelaparan,"jelas Sekretaris DPC GMNI Probolinggo M. Misbachudin Alwan Minggu (29/3/2020).



Menurutnya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah pusat baik ekonomi atau masyarakatnya. Ia menilai lebih baik pemerintah segera menentukan sebuah kebijakan yang dapat menyelamatkan masyarakat.

Sedangkan jika karantina kewilayahan, hal itu dinilai lebih tepat. Sebab dengan itulah Indonesia yang berpulau - pulau bisa mengurangi angka penularan yang begitu cepat.

Sementara itu Ichaumma salah satu perwakilan DPK Fisip menjelaskan, Physical Distancing atau jaga jarak fisik. Beberapa daerah mulai memberlakukan ini, namun tidak semuanya. Langkah ini tepat, namun tidak membatasi akses tenaga medis maupun bahan pokok.

"Akses daerah-daerah boleh ditutup, namun mobilisasi tenaga medis dan bahan pokok tetap ada. Termasuk toko-toko,swalayan maupun penjualan bahan pokok tetap dibuka,"jelas Icha.

Ia pun meminta agar Pemerintah benar-benar memperhitungkan dengan matang untung ruginya demi kepentingan masyarakat. Selain itu, ia berharap masyarakat juga patuh terhadap kebijakan pemerintah jika niatnya baik untuk mencegah Covid-19. (wan/cha/sid)

Minggu, 08 Maret 2020

International Womens Days, Perempuan dalam Putaran Sejarah. 

Oleh : M. Misbachudin Alwan


Apa itu hari perempuan international ? Hari perempuan international atau international womens days merupakan titik balik atau momentum dari pergerakan perempuan dunia dalam perjuangan kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan gender di berbagai lini kehidupan manusia. 

International womens days atau hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan pada tanggal 28 Februari 1909 di New York dan diselenggarakan oleh Partai Sosialis Amerika Serikat. Demonstrasi pada tanggal 8 Maret 1917 yang dilakukan oleh para perempuan di Petrograd memicu terjadinya Revolusi Rusia. Hari Perempuan Internasional secara resmi dijadikan sebagai hari libur nasional di Soviet Rusia pada tahun 1917, dan dirayakan secara luas di negara sosialis maupun komunis.

Pada tahun 1977, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. 

Sebuah cerita yang beredar di lingkaran internal para kolomnis Prancis, bahwa ada seorang perempuan dari buruh pabrik tekstil melakukan demonstrasi pada 8 Maret 1857 di New York. Demonstrasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melawan penindasan dan gaji buruh yang rendah, tetapi demonstrasi tersebut dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian. Pada tanggal 8 Maret 1907, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai peringatan terhadap kasus yang terjadi 50 tahun yang lalu.

Temma Kaplan berpendapat, "peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, tetapi banyak orang Eropa yang percaya bahwa tanggal 8 Maret 1907 merupakan awal dari terbentuknya Hari Perempuan Internasional.

Di era modernisasi kita tidak pernah lupa akan beberapa aksi kekerasan terhadap perempuan terutama kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga serta masih banyaknya pekerja buruh perempuan yang sampai saat ini masih belum mendapatkan hak-hak nya. 

Dalam hal ini, Sudah sepatutnya pemerintah segera mengesahkan RUU PKS. Hal ini bukan tanpa alasan RUU PKS diharapkan akan menjadi pelindung atau payung hukum dalam rangka mewujudkan masyarakat kekerasan seksual yang terjadi saat ini angka setiap tahunnya semakin meningkat. 

Harapan yang selanjutnya dengan disahkannya RUU PKS diharapkan dapat mewujudkan perlindungan bagi perempuan serta diharapkan mampu menjawab rasa keadilan berbasis gender dan mumutus benang diskriminasi yang ada terhadap perempuan terutama sekali di Indonesia.

RUU PKS ini diharapkan bisa mencegah baik kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual , memulihkan baik mental ataupun psikis korban, serta diharapkan juga dengan adanya RUU PKS ini mampu membantu pemerintah meletakkan kewajiban negara untuk segera menghapus kekerasan seksual di Indonesia. 

Gerak perempuan saat ini sangatlah dibatasi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Sejumlah aturan hukum dalam RUU yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 di DPR itu dinilai diskriminatif dan mereduksi peran perempuan.

Misalnya, Pasal 25 ayat (3) RUU Ketahanan Keluarga, yang mengatur kewajiban istri (perempuan) dalam berumah tangga. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Pula menjaga keutuhan keluarga. Selain itu istri juga wajib memperlakukan suami dan anak secara baik, serta mampu memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. 

Terdapat tiga ayat yang didalamnya bermasalah. Aturan ini juga secara tidak langsung juga melembagakan peran suami dan istri (Perempuan) dalam urusan domestik keluarga adanya peran2 seperti peran suami sebagai kepala rumah tangga dan sementara istri mempunyai peran sebagai pengatur urusan permasalahan keluarga.

Dengan adanya struktur fungsi (suami/istri) dalam ketahanan rumah tangga akan menimbulkan Diskriminatif. Dalam hal ini struktur rumah tangga (suami/istri) sendiri juga akan melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dalam hal ini banyak masyarakat yang memaknai pernikahan atau perkawinan sebagai bentuk pengabdian perempuan terhadap norma yang berkembang di masyarakat (laki-laki kepala keluarga.

Struktur fungsi laki-laki kepala keluarga, perempuan (istri) ibu rumah tangga atau memenuhi suami dan anak keluarga ini membuat perempuan (istri) akan sulit keluar dari lingkar kekerasan dalam keluarga yang dialaminya. Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 406.178 pada 2019. Dari jumlah itu, KDRT menempati urutan pertama yaitu sebesar 9.637 kasus atau 71 persen. Secara tidak langsung dengan adanya RUU Ketahanan kerja mengabaikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. 

Yang selanjutnya adanya RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang secara tidak langsung mengatur hak cuti bagi perempuan/ibu hamil selama 6 (enam) bulan bagi kaum perempuan. 

Masalah cuti melahirkan ini diatur dalam Pasal 29 (1), yang menyebutkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) wajib memberikan hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan tanpa kehilangan gaji serta pekerjaan. Sementara RUU ini tak memuat kewajiban bagi perusahaan swasta untuk memberikan hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan untuk perempuan (istri). Tidaklah harus kita terkecoh terkait permasalahan cuti kerja, pemerintah seharusnya juga memperhatikan kaum buruh terutama sekali kaum perempuan yang bekerja pada perusahaan swasta yang seharusnya diberikan haknya. 

Perempuan perempuan indonesia haruslah lebih maju, perempuan Indonesia haruslah mempunyai hak yang sama terhadap kaum laki-laki. Adanya RUU Ketahanan dan RUU Hak cipta kerja secara tidak langsung menyudutkan kaum wanita Indonesia untuk patuh terhadap aturan yang dibuat serta negara secara tidak langsung mencampuri zona privasi setiap masyarakatnya.

Bung Karno dalam buku Sarinah menyatakan soal soal mengenai perempuan. Sesungguhnya kita harus belajar insaf, bahwa soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah suatu soal dan masyarakat. Sarinah Hal 14. (wan/den)

Menakar Kondisi dan Masa Depan Perempuan di Hari Perempuan Sedunia

Menakar Kondisi dan Masa Depan Perempuan di Hari Perempuan Sedunia

Oleh : Yasinta Rizki Permatasari


Hari ini Minggu, 8 Maret 2020 nerupakan Hari Perempuan Sedunia. Lalu, benarkah perempuan saat ini benar-benar mendapat tempat yang baik? Ataukah penghormatan pada perempuan terbatas oleh hari-hari saja???

Kondisi perempuan saat ini sungguh miris kemerdekaannya karena lingkungan yang mempengaruhi dirinya untuk lebih memfokuskan keindahan tubuhnya. Kecantikan rupanya sudah mulai mendarah daging dikepribadiannya, dari pada kemerdekakan jiwanya dan generasi kedepannya.

Padahal perempuan itu sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dan pertumbuhan generasinya, karena seorang laki-laki tidak akan pernah bisa menyamai perempuan dalam hal melahirkan keturunan berikutnya.

Perempuan adalah tiang negara, dimana mana, diseluruh penjuru dunia mereka semua itu membutuhkan sesosok perempuan, dimana perempuan yang mampu memberikan regenerasi untuk keberlanjutan hidup dinegaranya. Sesosok kehadirannya mampu memberikan motivasi untuk kemajuan sebuah negara diseluruh penjuru dunia ini, tanpanya tak akan ada dunia ini dan tak akan hidup hingga saat ini.

Namun, yang terjadi saat ini perempuan semakin digerus kepercayaan akan dirinya yang begitu berharga. Karena terjadinya doktrinisasi yang merendahkan perempuan dalam meningkatkan kecerdasan dalam bergerak dan berpikir kritis sebagaimana yang dikuasai kaum laki-laki saat ini.

Setiap perempuan yang mampu dalam hal itu pasti dilemahkan kepercayaannya agar mereka menjadi bungkam terhadap impiannya untuk memerdekakan jiwanya, agar perempuan ini hanya cukup memberikan keindahan tubuhnya dan kecantikan rupanya saja.

Riset membuktikan perempuan saat ini yang lebih memilih nikah di usia dini masih meningkat dari pada perempuan yang lebih memilih berpendidikan terlebih dahulu hingga tuntas, minimal 12 tahun batas waktu pendidikannya.

Datapun mebuktikan di Indonesia ada 15,66% pada tahun 2018 BPS Jumlah dari pernikahan dini tersebut. Dari data itu dapat kita simpulkan bahwasanya pendidikan untuk perempuan kurang dalam memberikan kepahaman agar bersemangat dan termotivasi agar dirinya menjadi perempuan yang mampu percaya diri dalam meningkatkan kercerdasan dalam bergerak dan berpikir kritis untuk kemanfaatan perjuangan atas dirinya.

Oleh karena itu pentingnya sosok perempuan yang percaya diri akan kemampuannya itu penting untuk dibenahi dalam pendidikannya. Sehingga perempuan-perempuan di seluruh penjuru dunia termotivasi dan bersemangat untuk Memerdekakan jiwanya, agr tidak hanya terfokus keindahan tubuhnya dan kwcantikan rupanya, tapi yang lebih penting adalah kemerdaan jiwanya.

Karena Ibaratnya Laki-laki dan perempuan itu adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya, jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali. Seperti kata Panglima Besar Revolusi kita Bung Karno. Maka dari situ dapat kita garis bawahi bahwa kemerdekaan negara juga bergantung pada kemerdekaan perempuannya. (yas/den)

Jumat, 06 Maret 2020

Rethinking Pancasila di Mata Millenial

Rethinking Pancasila di Mata Millenial

Oleh : Yashinta Rizki Permatasari



Indonesia memiliki falsafah, dimana falsafah bangsa yang dimilikinya yaitu Pancasila.  Pancasila ini mampu memberikan semangat dan arahan yang positif untuk melawan kebodohan dan kemiskinan yang ada dalam bangsa ini. 

Dengan Pancasila sebagai falsafah serta ideologi bangsa Indonesia, itu artinya setiap warga negara republik Indonesia terikat dengan nilai-nilai kebersamaan atau kekeluargaan dan menolak segala organisasi yang bersifat individualis yang bisa melahirkan berbagai organisasi seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, otoriterianisme dengan hanya mementingkan kelompoknya dan berniat sebagai penghancur untuk kelompok lain. 

Pancasila sendiri terlahir dari pemikiran hebat para pahlawan Indonesia, di antaranya: Ir. Soekarno, Muhammad Yamin, Soepomo, dll yang berjuang mati-matian secara heroik untuk mengaktualisasikan kemerdekaan Indonesia akibat ratusan tahun dijajah oleh kolonialisme Barat.

Melihat begitu besarnya hati dan jiwa para pahlawan akan masa depan bangsa, di tengah rumitnya situasi yang mencekam, kita sebagai generasi milenial tidak bisa hanya duduk dan menikmati kemerdekaan saat ini, namun kita kaum milenial harus mampu berperan aktif mewujudkan Indonesia yang harmoni/damai/adil melalui pengahayatan nilai-nilai luhur Pancasila dalam realitas kehidupan sehari-hari kita sebagai kaum milenial.

Jika ditinjau lebih jauh, generasi milenial kini berada di usia produktif yang memiliki peranan penting untuk kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Berkembang pesatnya globalisasi dan digitalisasi menjadikan generasi ini unggul dalam hal kreativitas dan kemudahan dalam menghubungkan dirinya dengan dunia luar dirinya. Sayangnya, keunggulan ini banyak dilihat milenial sebagai sesuatu yang membuka ruang untuk menginginkan segalanya, serba instan dan interaksi antarbudaya yang terbuka mengakibatkan generasi ini mudah dipengaruhi oleh pikiran dan perilakunya. Perilakunya dinamis dan fleksibel. Maka di titik inilah Pancasila relevan dan berperan penting untuk kita generasi milenial.


Eksistensi Pancasila menurut generasi milenial dapat menjadi jembatan emas untuk kaum milenial membangun batas apa yang bisa diterima dari pengaruh luar yang merugikan dan tidak etis-negatif. Dengan luar biasanya ideologi Pancasila kita menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila ke-1 berguna untuk memperingatkan generasi milenial bahwa ada Tuhan sebagai pusat dari kehidupan segala sesuatu dalam bentangan dunia ini. Kecanggihan teknologi tidak akan pernah menggantikan kehebatan Tuhan dan memiliki iman yang kuat pada Tuhan menjadi sebuah keharusan (keniscayaan).

Generasi Milenial harus sadar bahwa semuanya milik Tuhan, sehingga kesombongan dalam diri manusia bisa terminimalisir dan berusaha untuk selalu mengambil manfaat positif dalam setiap kemudahan, bukan untuk mengambil kekuasaan apalagi menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang dalam kekuasaan. Kekuasaan Tuhan melampaui kekuasaan manusia.

Pancasila harus dijadikan acuan bagaimana generasi milenial juga dalam menjalani hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam relevansinya dengan sila ke-2. Di mana kaum milenial Indonesia harus dengan bijaksana, harus selalu adil dalam pikiran dan perilaku etis pada sesama, tidak menggampangkan segala sesuatu dan terus berbuat kebaikan yang mementingkan kepentingan umum demi cita-cita bonum commune (kebaikan bersama).

Generasi milenial harus sadar diri untuk selalu bersinergi menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia (sila ke-3) melalui sikap toleransi akan perbedaan dan memegang teguh pendirian yang tidak bisa diacak oleh bangsa luar. Sesama bangsa Indonesia, generasi milenial harus bergotong royong mengangkat derajat bangsa Indonesia lebih tinggi daripada negara lain untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara lemah yang gampang terjajah, tapi negara yang kuat karena generasi penerusnya mampu bersatu memajukan Indonesia lebih baik di tengah tantangan global masa kini.

Generasi muda milenial juga harus bersikap demokratis dengan mementingkan aspek musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan (sila ke-4). Keputusan tidak boleh diambil secara otoriter namun hasil kesepakatan dan musyawarah bersama. Juga sila kelima anak muda milenial harus mengusahakan keaadilan sosial. Perlu mengkritik struktur social, ideologi, politik dalam negara dan masyarakat yang menciptakan ketidakadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Maka dari itu, pada hakikatnya generasi milenial harus terus memelihara dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan nyata sehari-hari. Melalui pendidikan, generasi milenial harus sadar bahwa nilai-nilai Pancasila yang ditanam, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, gotong royong, musyawarah untuk mufakat, keadilan sosial, patriotisme, nasionalisme, menghormati perbedaan bukan hanya untuk dihafal.

Namun terlebih dan paling penting adalah untuk diterapkan pada diri sendiri dan menebarkannya kepada generasi milenial lain yang sama-sama berperan penting dalam menciptakan Indonesia yang damai, aman dan tentram.

Marilah kita maju ke depan dengan membawa obor yang dapat menyalakan api semangat membangun Indonesia jaya pada kehidupan lebih baik lagi di masa mendatang menuju keabadian. (yas/den)