Minggu, 08 Maret 2020

International Womens Days, Perempuan dalam Putaran Sejarah. 

Oleh : M. Misbachudin Alwan


Apa itu hari perempuan international ? Hari perempuan international atau international womens days merupakan titik balik atau momentum dari pergerakan perempuan dunia dalam perjuangan kaum perempuan untuk mencapai kesetaraan gender di berbagai lini kehidupan manusia. 

International womens days atau hari Perempuan Internasional pertama kali dirayakan pada tanggal 28 Februari 1909 di New York dan diselenggarakan oleh Partai Sosialis Amerika Serikat. Demonstrasi pada tanggal 8 Maret 1917 yang dilakukan oleh para perempuan di Petrograd memicu terjadinya Revolusi Rusia. Hari Perempuan Internasional secara resmi dijadikan sebagai hari libur nasional di Soviet Rusia pada tahun 1917, dan dirayakan secara luas di negara sosialis maupun komunis.

Pada tahun 1977, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. 

Sebuah cerita yang beredar di lingkaran internal para kolomnis Prancis, bahwa ada seorang perempuan dari buruh pabrik tekstil melakukan demonstrasi pada 8 Maret 1857 di New York. Demonstrasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melawan penindasan dan gaji buruh yang rendah, tetapi demonstrasi tersebut dibubarkan secara paksa oleh pihak kepolisian. Pada tanggal 8 Maret 1907, Hari Perempuan Internasional diresmikan sebagai peringatan terhadap kasus yang terjadi 50 tahun yang lalu.

Temma Kaplan berpendapat, "peristiwa tersebut tidak pernah terjadi, tetapi banyak orang Eropa yang percaya bahwa tanggal 8 Maret 1907 merupakan awal dari terbentuknya Hari Perempuan Internasional.

Di era modernisasi kita tidak pernah lupa akan beberapa aksi kekerasan terhadap perempuan terutama kasus kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga serta masih banyaknya pekerja buruh perempuan yang sampai saat ini masih belum mendapatkan hak-hak nya. 

Dalam hal ini, Sudah sepatutnya pemerintah segera mengesahkan RUU PKS. Hal ini bukan tanpa alasan RUU PKS diharapkan akan menjadi pelindung atau payung hukum dalam rangka mewujudkan masyarakat kekerasan seksual yang terjadi saat ini angka setiap tahunnya semakin meningkat. 

Harapan yang selanjutnya dengan disahkannya RUU PKS diharapkan dapat mewujudkan perlindungan bagi perempuan serta diharapkan mampu menjawab rasa keadilan berbasis gender dan mumutus benang diskriminasi yang ada terhadap perempuan terutama sekali di Indonesia.

RUU PKS ini diharapkan bisa mencegah baik kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual , memulihkan baik mental ataupun psikis korban, serta diharapkan juga dengan adanya RUU PKS ini mampu membantu pemerintah meletakkan kewajiban negara untuk segera menghapus kekerasan seksual di Indonesia. 

Gerak perempuan saat ini sangatlah dibatasi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat. Sejumlah aturan hukum dalam RUU yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 di DPR itu dinilai diskriminatif dan mereduksi peran perempuan.

Misalnya, Pasal 25 ayat (3) RUU Ketahanan Keluarga, yang mengatur kewajiban istri (perempuan) dalam berumah tangga. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Pula menjaga keutuhan keluarga. Selain itu istri juga wajib memperlakukan suami dan anak secara baik, serta mampu memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. 

Terdapat tiga ayat yang didalamnya bermasalah. Aturan ini juga secara tidak langsung juga melembagakan peran suami dan istri (Perempuan) dalam urusan domestik keluarga adanya peran2 seperti peran suami sebagai kepala rumah tangga dan sementara istri mempunyai peran sebagai pengatur urusan permasalahan keluarga.

Dengan adanya struktur fungsi (suami/istri) dalam ketahanan rumah tangga akan menimbulkan Diskriminatif. Dalam hal ini struktur rumah tangga (suami/istri) sendiri juga akan melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dalam hal ini banyak masyarakat yang memaknai pernikahan atau perkawinan sebagai bentuk pengabdian perempuan terhadap norma yang berkembang di masyarakat (laki-laki kepala keluarga.

Struktur fungsi laki-laki kepala keluarga, perempuan (istri) ibu rumah tangga atau memenuhi suami dan anak keluarga ini membuat perempuan (istri) akan sulit keluar dari lingkar kekerasan dalam keluarga yang dialaminya. Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 406.178 pada 2019. Dari jumlah itu, KDRT menempati urutan pertama yaitu sebesar 9.637 kasus atau 71 persen. Secara tidak langsung dengan adanya RUU Ketahanan kerja mengabaikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. 

Yang selanjutnya adanya RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang secara tidak langsung mengatur hak cuti bagi perempuan/ibu hamil selama 6 (enam) bulan bagi kaum perempuan. 

Masalah cuti melahirkan ini diatur dalam Pasal 29 (1), yang menyebutkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) wajib memberikan hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan tanpa kehilangan gaji serta pekerjaan. Sementara RUU ini tak memuat kewajiban bagi perusahaan swasta untuk memberikan hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan untuk perempuan (istri). Tidaklah harus kita terkecoh terkait permasalahan cuti kerja, pemerintah seharusnya juga memperhatikan kaum buruh terutama sekali kaum perempuan yang bekerja pada perusahaan swasta yang seharusnya diberikan haknya. 

Perempuan perempuan indonesia haruslah lebih maju, perempuan Indonesia haruslah mempunyai hak yang sama terhadap kaum laki-laki. Adanya RUU Ketahanan dan RUU Hak cipta kerja secara tidak langsung menyudutkan kaum wanita Indonesia untuk patuh terhadap aturan yang dibuat serta negara secara tidak langsung mencampuri zona privasi setiap masyarakatnya.

Bung Karno dalam buku Sarinah menyatakan soal soal mengenai perempuan. Sesungguhnya kita harus belajar insaf, bahwa soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah suatu soal dan masyarakat. Sarinah Hal 14. (wan/den)

share to whatsapp

0 komentar:

Posting Komentar