Senin, 25 November 2019

Rendahnya Minat Membaca Para Pemuda

Rendahnya Minat Membaca  Para Pemuda
Oleh : Guruh Yoni Prananda


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki budaya membaca sangat memprihatinkan. Lemahnya budaya membaca di Indonesia dikarenakan oleh beberapa faktor. Skor rata-rata kemampuan membaca remaja Indonesia menempati peringkat 57 dari 62 negara. Rangking itu lebih rendah dari Montenegro, Yordania, Tunisia atau dibawah rata-rata negara yang masuk Organization for Economic Cooperation Development (OECD) (Media Indonesia, 2011). 


Salah satu penyebabnya, maraknya acara talk show di televisi yang mencerminkan budaya berbicara lebih kuat dimasyarakat Indonesia daripada budaya membaca. Untuk menumbuhkannya dapat dilakukan dengan memunculkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). TBM menyediakan buku-buku sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar (Media Indonesia, 2011).


Budayawan Emha Ainun Najib (1995), pernah mengatakan, di Indonesia terdapat "kekeliruan" tahapan budaya yang berakibat cukup fatal. Yang dimaksud tahapan budaya disini adalah dari budaya membaca ke budaya elektronik (televisi dan sejenisnya). Pada saat budaya membaca belum terbangun dengan kokoh di negara kita, masuklah budaya elektronik secara gencar dan masif. 


Akibatnya budaya membaca yang masih tertatih-tatih itu tergerus oleh budaya elektronik. Pasalnya, budaya elektronik ini menawarkan sesuatu yang menyenangkan karena fungsinya memang untuk menghibur. Sekalipun budaya elektronik ini bisa juga digunakan untuk media pendidikan, tetapi praktiknya sangat minim. Sementara itu budaya membaca yang membutuhkan keseriusan dan ketekunan itu tentu kian ditinggalkan oleh para pemuda. 



Setiap individu, terutama kaum muda, semestinya menyadari pentingnya pembudayaan gemar membaca dan gemar belajar. Idealnya kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk perilaku nyata sehari-hari di lingkungan masyarakat , melalui kegiatan membaca di perpustakaan, membaca di waktu senggang, dan sejenisnya. Membaca merupakan kegiatan yang memang diperuntukkan kepada siapa saja,tanpa memandang usia, jenis kelamin, status ekonomi ataupun yang lainnya, khususnya bagi kaum muda seharusnya menjadi suatu rutinitas dan selayaknya wajib dilakukan, karena tugas kaum muda adalah belajar. Membaca merupakan bagian dari belajar yang dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun berada dan mau untuk melakukannya.  



Harus jujur diakui, kaum muda telah terpengaruh pada budaya-budaya nir-intelektual, yakni ngrumpi tiada arah. Disadari atau tidak, ada yang hilang dari budaya kaum muda. kaum muda sebagai aktor intelektual telah kehilangan identitasnya. Tentu kita paham terkait peraniron stock (cadangan keras) yang disandang mahasiswa. Peraniron stock menegaskan bahwa kaum muda adalah calon-calon pemimpin bangsa yang kelak mengendalikan kepemimpinan di negeri ini. 


Budaya membaca merupakan sesuatu yang berharga dalam mencapai kemajuan penghidupan dan ketinggian budaya seseorang. Untuk melihat apakah seseorang memiliki pengetahuan luas dan peradaban tinggi, sedang, atau primitif, dapat dilihat dari aktifitas literasi (baca-tulis) yang dilakukannya. Semakin tinggi aktifitas membacanya, maka dapat diduga semakin tinggi pula tingkat penguasaan pengetahuannya. Roijakers (1980), salah seorang pakar pendidikan, mengaitkan peranan literasi dengan pengembangan karier sesorang. 


Menurutnya, hanya melalui kegiatan membaca orang dapat mengembangkan diri dalam bidangnya masing-masing secara maksimal serta dapat mengikuti perkembangan baru yang terjadi. Dengan perkataan lain, kedudukan kemahiran membaca pada abad informasi merupakan modal utama bagi siapa saja yang berkehendak meningkatkan kemampuannya.


Kebiasaan membaca adalah ketrampilan yang diperoleh setelah seseorang dilahirkan, bukan ketrampilan bawaan. Oleh karena itu kebiasaan membaca dapat dipupuk, dibina, dan dikembangkan. Bagi negara-negara berkembang, aktivitas membaca pada umumnya adalah untuk memperoleh manfaat langsung. Untuk tujuan akademik membaca adalah untuk memenuhi tuntutan kurikulum sekolah atau Perguruan Tinggi. 


Buku sebagai media transformasi dan penyebarluasan ilmu dapat menembus batas-batas geografis suatu negara, sehingga ilmu pengetahuan dapat dikomunikasikan dan digunakan dengan cepat di berbagai belahan dunia. Semakin banyak membaca buku, semakin bertambah wawasan kita terhadap permasalahan di dunia. Karena itulah buku disebut sebagai jendela dunia. Dalam konteks iniperan keluarga menjadi sangat penting, kedua orangtualah yang pertama-tama harus menumbuhkan kegemaran membaca pada anak-anak mereka. 


Kebiasaan budaya membaca di kalangan masyarakat dalam dunia pendidikan, boleh dikatakan masih sangat jauh dari menggembirakan. Sedikit diantara anak-anak didik, mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi yang gemar membaca. 


Di era globalisasi dengan kemajuan teknologi, kebanyakan orang cenderung mendengar dan berbicara ketimbang melihat diikuti membaca. Di lembaga lembaga pendidikanpun tradisi lisan mendominasi proses belajar mengajar sehingga minat baca dan ingin memiliki buku-buku ilmu pengetahuan bukanlah prioritas utama atau sama sekali tidak difungsikan secara efisien. 


Kenyataan menunjukkan adanya dua alternatif pilihan, yakni ketika orang dihadapkan dengan buku-buku ilmu pengetahuan dan tayangan film menarik, orang akan cenderung melelahkan indra penglihatan (mata) untuk menonton film berjam-jam daripada membaca buku-buku ilmu pengetahuan. (Gur/Drw)

share to whatsapp

0 komentar:

Posting Komentar