Selasa, 23 Juli 2019

MIMPI SUNYI SEORANG MANTAN ANAK JALANAN


Menyusuri jejak kehidupan mantan anak – anak jalanan Kota Probolinggo
MIMPI SUNYI SEORANG MANTAN ANAK JALANAN
Oleh : Sukardi Mitho


Jam ditangan saya menunjuk pukul 00.30 WIB. Malam kian merangkak larut, sinar bulan yang sesekali tersaput awan kian menambah hening malam. Semilir angin yang berhembus di kota angin ini serasa merasuk ke pori – pori menembus sendi – sendi tulang.
Di tengah sepanjang jalan Niaga omplek pasar Baru terlihat masih nampak beberapa orang – orang yang melakukan aktifitas dengan menyapu dan membersihkan bahu jalan dari sampah-sampah bekas pedagang pasar berjualan.

Adalah Hendry “Ping” Sugianto atau biasa dipanggil dengan sebutan Keceng, salah satu diantara mereka yang malam itu “kebagian tugas” menyapu di sepanjang jalan Niaga komplek pasar Baru. Dengan kaos hijau bertuliskan DLH Kota Probolinggo, Keceng dengan ramah menyapaku. “Ada apa om tumben malam – malam kesini om.” Ia pun meletakkan gagang sapunya lalu menjabat tanganku sambil mengajak duduk bibir trotoar.

Ya… Hendry Sugianto adalah salah satu diantara ratusan anak – anak yang pernah merasakan pahit getirnya hidup di jalan sebagai pengamen. Usia 8 tahun, Hendry bersama kakaknya sudah menjadi pengamen jalanan. Tempat mangkalnya berpindah – pindah mulai dari perempatan Brak (Jl. Soekarno Hatta) , perempatan Randupangger bahkan juga di atas bus kota jurusan Probolinggo – Situbondo. Ia tidak sendirian, karena teman – teman seusia mereka pada waktu itu juga banyak yang jadi pengamen. Saat ditanya kenapa harus mengamen, Hendry pun bercerita panjang lebar tentang mengapa dia bersama kakaknya harus jadi pengamen jalanan. Kondisi ekonomi keluarga yang serba kuranglah yang membuat kakinya bergerak untuk dapat membantu dan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Semua uang hasil mengamennya ia berikan ke ibunya untuk kebutuhan sehari – hari karena bapaknya pada saat itu sedang tidak bekerja. Praktis masa kecilnya ia habiskan di jalan sepulang ia dari dari sekolah. Mestinya masa anak – anak yang seusianya itu adalah masa – masa bermain tanpa di bebani oleh masalah – masalah pemenuhan kebutuhan keluarganya.
Dan karena kegigihan dan perjuangan hidupnya dijalanan itulah, Keceng bersama 4 anak jalanan lainnya pernah menjadi wakil anak dari Kota Probolinggo menghadiri Hari Anak nasional di Jakarta yang diinisiasi oleh salah satu badan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2002.

Sepenggal kisah diatas adalah bagian hidupnya yang barangkali tak kan pernah ia lupakan. Kisah yang telah mengajarkan banyak hal. Kisah yang telah menorehkan banyak pengalaman pahit dan tidak menyenangkan. Berbagai stigma negatif sering ia dapatkan bersama dengan teman-teman sesama anak jalanan yang lain. Stigma bahwa anak jalanan sebagai sampah masyarakat, anak yang tidak mengenal norma – norma agama, anak yang tidak memiliki masa depan, pemabuk dan stigma negatif lainnya. Bahkan untuk mendapatkan sekolah saja bukan hal mudah bagi seorang anak jalanan. Banyak lembaga – lembaga pendidikan pada waktu itu yang menolak memiliki siswa seorang anak jalanan.

Bahkan tak sebatas stigma negatif itu saja yang ia dapatkan. Beberapa bentuk kekerasan fisik juga seringkali ia alamai bersama dengan anak jalanan lainnya. Kekerasan baik dari aparat maupun dari sesama anak jalanan yang usianya lebih tua. Namun kondisilah yang membuatnya ia harus bertahan di jalanan. Ia sadar betul bahwa jalanan bak rimba belantara. Hukum rimba lah yang berlaku dijalanan. “Saya sadar betul bagaimana kerasnya hidup dijalanan. Ibarat kalau tidak membunuh ya dibunuh, kalau tidak melawan ya akan terus menjadi budak oleh orang – orang yang sama – sama hidup dijalanan,” ujar keceng sambil matanya menerawang jauh. Menerawang jauh seolah – olah ingatannya kembali muncul bagaimana ia pernah harus terlibat baku pukul dengan sesama anak jalanan kala itu.

Namun kini Keceng telah mampu melewati masa – masa yang tidak menyenangkan tersebut. Ia kini telah hidup dalam lingkungan yang ‘normal”. Bersama keluarga kecilnya, ia tetap berjuang keras. Berjuang membahagiakan istri dan dua orang anaknya. Ia telah tinggalkan kehidupan dijalanan. Kini ia tercatat bekerja sebagai tenaga magang di Dinas Lingkungan Hidup Kota Probolinggo. Diluar jam dinasnya, ia juga sebagai sales berbagai makanan ringan. Ia harus keliling dengan memakai motor untuk menjajakan barang dagangannya. “Om, cukuplah saya yang mengalami kerasnya kehidupan dijalanan. Jangan sampai anak-anak saya mengalami kehidupan pahit seperti saya dulu,” tandas Keceng seolah ingin meyakinkan kesemua orang bahwa ia punya semangat dan kekuatan.

Kisah Keceng adalah sepenggal cerita sendu anak – anak yang kehidupannya dihabiskan dijalanan. Kehidupan anak – anak yang tidak beruntung. Anak yang terenggut paksa masa kecilnya karena ekonomi keluarga, ketidak harmonisan orang tua dan pengaruh teman sebaya. Dan di momen Hari Anak nasional (23 Juli 2019) ini barangkali seluruh pemangku kepentingan utamanya pemerintah daerah baik kota maupun kabupaten Probolinggo lebih optimal untuk merumuskan kebijakan – kebijakan yang berpihak pada anak utamanya dalam memberikan perlindungan sebagaimana amanah Undang – undang Perlindungan Anak.
Dan dalam upaya penanganan anak khususnya anak – anak jalanan tetaplah mengedepakan sebuah prinsip bahwa ‘tidak ada satupun anak yang ingin dilahirkan sebagai anak jalanan”
Selamat Hari Anak Nasional, anak – anak bangsa!

share to whatsapp

0 komentar:

Posting Komentar