Menyusuri jejak kehidupan mantan anak – anak jalanan Kota
Probolinggo
MIMPI SUNYI SEORANG
MANTAN ANAK JALANAN
Oleh : Sukardi Mitho
Jam ditangan saya menunjuk pukul 00.30 WIB. Malam kian merangkak larut,
sinar bulan yang sesekali tersaput awan kian menambah hening malam. Semilir
angin yang berhembus di kota angin ini serasa merasuk ke pori – pori menembus
sendi – sendi tulang.
Di tengah sepanjang jalan Niaga omplek pasar Baru terlihat masih nampak
beberapa orang – orang yang melakukan aktifitas dengan menyapu dan membersihkan
bahu jalan dari sampah-sampah bekas pedagang pasar berjualan.
Adalah Hendry “Ping” Sugianto atau biasa dipanggil dengan sebutan Keceng,
salah satu diantara mereka yang malam itu “kebagian tugas” menyapu di sepanjang
jalan Niaga komplek pasar Baru. Dengan kaos hijau bertuliskan DLH Kota
Probolinggo, Keceng dengan ramah menyapaku. “Ada apa om tumben malam – malam
kesini om.” Ia pun meletakkan gagang sapunya lalu menjabat tanganku sambil
mengajak duduk bibir trotoar.
Ya… Hendry Sugianto adalah salah satu diantara ratusan anak – anak yang
pernah merasakan pahit getirnya hidup di jalan sebagai pengamen. Usia 8 tahun,
Hendry bersama kakaknya sudah menjadi pengamen jalanan. Tempat mangkalnya
berpindah – pindah mulai dari perempatan Brak (Jl. Soekarno Hatta) , perempatan
Randupangger bahkan juga di atas bus kota jurusan Probolinggo – Situbondo. Ia
tidak sendirian, karena teman – teman seusia mereka pada waktu itu juga banyak
yang jadi pengamen. Saat ditanya kenapa harus mengamen, Hendry pun bercerita
panjang lebar tentang mengapa dia bersama kakaknya harus jadi pengamen jalanan.
Kondisi ekonomi keluarga yang serba kuranglah yang membuat kakinya bergerak
untuk dapat membantu dan memenuhi kebutuhan keluarganya.
Semua uang hasil mengamennya ia berikan ke ibunya untuk kebutuhan sehari –
hari karena bapaknya pada saat itu sedang tidak bekerja. Praktis masa kecilnya
ia habiskan di jalan sepulang ia dari dari sekolah. Mestinya masa anak – anak
yang seusianya itu adalah masa – masa bermain tanpa di bebani oleh masalah –
masalah pemenuhan kebutuhan keluarganya.
Dan karena kegigihan dan perjuangan hidupnya dijalanan itulah, Keceng
bersama 4 anak jalanan lainnya pernah menjadi wakil anak dari Kota Probolinggo
menghadiri Hari Anak nasional di Jakarta yang diinisiasi oleh salah satu badan
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tahun 2002.
Sepenggal kisah diatas adalah bagian hidupnya yang barangkali tak kan
pernah ia lupakan. Kisah yang telah mengajarkan banyak hal. Kisah yang telah
menorehkan banyak pengalaman pahit dan tidak menyenangkan. Berbagai stigma
negatif sering ia dapatkan bersama dengan teman-teman sesama anak jalanan yang
lain. Stigma bahwa anak jalanan sebagai sampah masyarakat, anak yang tidak
mengenal norma – norma agama, anak yang tidak memiliki masa depan, pemabuk dan
stigma negatif lainnya. Bahkan untuk mendapatkan sekolah saja bukan hal mudah
bagi seorang anak jalanan. Banyak lembaga – lembaga pendidikan pada waktu itu
yang menolak memiliki siswa seorang anak jalanan.
Bahkan tak sebatas stigma negatif itu saja yang ia dapatkan. Beberapa
bentuk kekerasan fisik juga seringkali ia alamai bersama dengan anak jalanan
lainnya. Kekerasan baik dari aparat maupun dari sesama anak jalanan yang
usianya lebih tua. Namun kondisilah yang membuatnya ia harus bertahan di
jalanan. Ia sadar betul bahwa jalanan bak rimba belantara. Hukum rimba lah yang
berlaku dijalanan. “Saya sadar betul bagaimana kerasnya hidup dijalanan. Ibarat
kalau tidak membunuh ya dibunuh, kalau tidak melawan ya akan
terus menjadi budak oleh orang –
orang yang sama – sama hidup dijalanan,” ujar keceng sambil matanya menerawang
jauh. Menerawang jauh seolah – olah ingatannya kembali muncul bagaimana ia
pernah harus terlibat baku pukul dengan sesama anak jalanan kala itu.
Namun kini Keceng telah mampu melewati masa – masa yang tidak menyenangkan
tersebut. Ia kini telah hidup dalam lingkungan yang ‘normal”. Bersama keluarga
kecilnya, ia tetap berjuang keras. Berjuang membahagiakan istri dan dua orang
anaknya. Ia telah tinggalkan kehidupan dijalanan. Kini ia tercatat bekerja
sebagai tenaga magang di Dinas Lingkungan Hidup Kota Probolinggo. Diluar jam
dinasnya, ia juga sebagai sales
berbagai makanan ringan. Ia harus keliling dengan memakai motor untuk
menjajakan barang dagangannya. “Om, cukuplah saya yang mengalami kerasnya
kehidupan dijalanan. Jangan sampai anak-anak saya mengalami kehidupan pahit
seperti saya dulu,” tandas Keceng seolah ingin meyakinkan kesemua orang bahwa
ia punya semangat dan kekuatan.
Kisah Keceng adalah sepenggal cerita sendu anak – anak yang kehidupannya
dihabiskan dijalanan. Kehidupan anak – anak yang tidak beruntung. Anak yang
terenggut paksa masa kecilnya karena ekonomi keluarga, ketidak harmonisan orang
tua dan pengaruh teman sebaya. Dan di momen Hari Anak nasional (23 Juli 2019)
ini barangkali seluruh pemangku kepentingan utamanya pemerintah daerah baik
kota maupun kabupaten Probolinggo lebih optimal untuk merumuskan kebijakan –
kebijakan yang berpihak pada anak utamanya dalam memberikan perlindungan
sebagaimana amanah Undang – undang Perlindungan Anak.
Dan dalam upaya penanganan anak khususnya anak – anak jalanan tetaplah
mengedepakan sebuah prinsip bahwa ‘tidak
ada satupun anak yang ingin dilahirkan sebagai anak jalanan”
Selamat Hari Anak Nasional, anak – anak bangsa!
0 komentar:
Posting Komentar