ANGGOTA DPRD HARUS BERANI CEGAH ABSOLUTISME KEKUASAAN
Oleh: Sukardi Mitho
Siapa mengira bahwa Jerman yang terkenal sebagai salah satu bangsa yang pandai, beradab, berbudaya tinggi, negeri teladan yang bersih, necis, teratur dan termasyur sebagai one on of themost civilized country of the world, pada jaman Nazi tega melakukan kekejaman luar biasa biadab berupa pembantaian terhadap 6 juta orang Ibrani. Menukil pendapat Zygmunt Baumann dalam Modernity and the Holocaust, Mangunwijaya dalam saya ingin membayar utang kepada rakyat mengatakan bahwa para algojo Nazi itu bukanlah orang-orang berjenis criminal melainkan manusia-manusia berbudi pekerti normal, penyayang setia istri dan ayah yang baik.
Kekejaman yang serba mengerikan itu dlakukan bukan karena ada psikopat Hitler, atau karena ada bandit-bandit yang kebetulan memegang kuasa , melainkan karena system rasionalitas. Negara dan masyarakat modern yang berdogma dan percaya pada rekayasa masyarakat dan Negara yang sisitemik serba dirancang, di program bahkan dimanipulasi dicetak paksa secara sentral sehingga seragam, satu komando, satu arah, satu ideologi dan satu sentrum.
Siapa pula yang mengira bahwa Indonesia yang disanjung (atau menyanjung diri) sebagai bangsa yang mewarisi budaya adiluhung, menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran yang digambarkan sebagai kehalusan budi, keramahan sikap, sopan-santun, toleransi, tepa-selira, botong-royong, dan bernafaskan regiolitas, toh tetap juga memeiliki rekam jejak kelam yakni tega melakukan kekejaman yang sama sehingga penembakan terhadap para aktivis yang memperjuangkan suara berbeda dengan kekuasaan merupakan tindakan yang legal demi bangsa dan Negara.
Sehingga penculikan, penganiayaan dan penghilangan nyawa orang yang menuntut keadilan merupakan pilihan strategis demi nama baik kekuasaan, sehingga pembunuh-pembunuh para Marsinah dan Udin tetap tak terhukum dan bebas berkeliaran, sehingga pembakaran dan perkosaan masal berbau SARA menjadi laupan magma yg tak terbendung dan yang paling tak masuk akal, tidak rasional serta berkebalikan dengan nilai-nilai moral-kemanusiaan adalah merebaknya tindakan salaing membunuh antar manusia yang berbeda teknis dan agama yang (katanya) suci. Semua ini penyebabnya tidak berbeda dengan penyebab pembantaian orang ibrani, yakni system negara dan masyarakat yang percaya kepada serba manipulasi cetak-paksa secara sentral, penyeragaman, penyatuan comando, penyatuan arah, penyatuan ideology dan penyatuan sentrum.
Semua yang berjenis sentralisme di mana benar-salah, baik-buruk, pantas-tak pantas, keutamaan-kejahatan, boleh-tidak boleh, dan adil-tidak adil serba ditentukan oleh satu kekuasaan yang berada di pusat sentrum, selalu dan dimana-mana akan disebut sebagai absolutism. Yang mengerikan dan selalu saja mengancam kehidupan adalah bahwa absolutism itu memiliki anak tunggal yang disebut kekerasan. Oleh karenanya, apapun dan siapapun yang melakukan melakukan perkawinan dengan absolutism akan melahirkan kekerasan dalam bentuk apapun.
Mengapa begitu? Karena absolutism tidak pernah mengakui adanya ruang bagi yang berbeda. Akhirnya, kehidupan bersama yang senyatanya tidak satu melainkan plural, banyak, dan berbeda-beda akan terancam apabila telah terjadi poligami antara absolutism, politik dan agama, karena dalam perjumbuhan ketiga hal inilah kekerasan dalam segala bentuknya akan mendapatkan pengesahan sebagai sebuah kesucian yang dipuja.
Lalu, apabila ditarik dalam konteks kekuasaan di daerah maka anggota dewan (DPRD) memiliki peran sentral untuk tidak menjadikan kekuasaan tersentral pada pusat kekuasaan yakni kepala daerah. Dewan harus mampu mendorong bahkan menginisiasi terciptanya ruang – ruang publik yang dapat digunakan untuk ruang diskusi / dialog bagi rakyat. Melalui ruang – ruang dialog tersebut akan menumbuhkan proses demokrasi sehingga menjauhkan politik sentralistik. Manakala itu dilakukan maka kehidupan berpolitik di kota / kabupaten Probolinggo dapat berjalan dengan demokratis dan berdampak pada kegiatan pembangunan yang didukung oleh banyak kekuatan rakyat. (Den)
Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar