Senin, 21 Oktober 2019

KEIKHLASAN AIR (Catatan sebuah perjalanan hati)

KEIKHLASAN AIR
(Catatan sebuah perjalanan hati)
Oleh: Sukardi Mitho



Berceritalah suatu hari, seorang kakek tua kepada cucunya; "Nak, coba lihat, apa yang membuat gedung di seberang jalan itu terlihat kuat dan megah?"

Sang cucupun menjawab dengan mantap. "Bahan-bahan bangunannya bagus dan pilihan, kek. Batunya, batu gunung, pasirnya bagus, semennya banyak dan berkualitas, catnya import, perancang gedungnya berpengalaman dan asesoris-asesoris gedungnya semua dari luar negeri"

Lalu sambil tersenyum sang kakek mulai bercerita panjang. Sambil sesekali matanya menatap tajam gendung indah yang menjulang tinggi dan menjadi kebanggaan warga kota itu.

"Nak, yang kamu katakan itu semuanya adalah benar. Tetapi kamu lupa bahwa masih ada satu hal yang menjadikan gedung itu berdiri megah yang tidak kamu sebutkan. Yaitu, AIR. Tanpa air, gedung megah itu tak bisa diberdiri megah,"

 Namun air tak merasa perlu menampakkan diri dalam struktur bangunan gedung megah itu. Lain halnya dengan batu, pasir, semen, cat atau lainnya yang menampakkan diri dalam struktur bangunan gedung.

 Sehingga banyak orang memujinya. Dan air merelakan dirinya tak nampak dalam kemegahan gedung. Air merelakan dirinya hanya mengantarkan batu, pasir, semen, cat dan lainnya untuk bersatu menjadi struktur bangunan megah yang kemudian mendapatkan puja puji banyak orang.

"Nak, itulah air. Ia ikhlas dan tak perlu pujian. Bahkan saat hujan turun dari langit dan airnya menempel didinding gedungpun maka sang pemilik dengan cepat mengelapnya. Atau bahkan saat air menggenang disekitar gedung maka sang pemilik rela mengeluarkan banyak uang untuk menyedot dan membuang air itu diselokan,"

Padahal mungkin air sekedar ingin singgah sebentar untuk melampiaskan rasa kangennya pada batu, pasir, semen, cat yang telah mendapatkan pujian banyak orang itu. Dan itulah keikhlasan air yang mengajarkan kita tentang makna kehidupan.

Lalu, cepat-cepat sang kakek menyeka peluh keringat di keningnya yang mulai keriput karena panas matahari.

Sang cucu terdiam bisu. Hatinya berkecamuk beragam perasaan yang ia sendiri tak sepenuhnya paham. Lalu digandenglah tangan sang kakek untuk kemudian diajaknya kembali meneruskan perjalanan.

Probolinggo, 22 Oktober 2019

share to whatsapp

0 komentar:

Posting Komentar